Nama asli : Raden Haji Oma Irama
Nama beken : Rhoma Irama
Lahir : Tasikmalaya, 11 Desember 1946
Ayah : Raden Burdah Anggawirya
Ibu :Tuti Juariah
Isteri : Ricca Rachim (11 April 1959)
Pendidikan:
SD Kibono Manggarai Jakarta
SMP Negeri XV Jakarta
SMA Negeri VIII Jakarta (sampai kelas II)
SMA PSKD Jakarta
St Joseph Solo
SMA 17 Agustus Tebet Jakarta
Fakultas Sospol Universitas 17 Agustus
Alamat:
Jalan Pondok Jaya VI/14, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7192571
E-mail:
ricca_rachim@yahoo.com
Rhoma Irama adalah seorang revolusioner dalam dunia musik Indonesia yang mencanangkan semboyan Voice of Moslem pada 13 Oktober 1973 sekaligus menjadi agen pembaharu musik Melayu yang memadukan unsur musik rock dalam musik melayu serta melakukan improvisasi atas syair, lirik, kostum dan penampilan di atas panggung.
Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama yang berjuluk Raja Dangdut, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara, yaitu delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan saudara kandung, dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya).
Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama Irama Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Ia sangat pandai dalam memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu cianjuran. Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah, ia pun merupakan keturunan ningrat dan pandai pula dalam menyanyi, seperti lagu No Other Love yang sering didengarkan Rhoma sewaktu kecil.
Sebelum tinggal di Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah, kakaknya Benny Muharram dilahirkan. Sedangkan Rhoma lahir di Tasikmalaya beberapa saat setelah pindah ke kota tersebut. Setelah lahir Rhoma, lahir pula adik-adiknya, seperti Handi dan Ance. Setelah itu, mereka pindah lagi ke Jakarta dan tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, lalu pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di kota inilah mereka menghabiskan masa remajanya sampai tahun 1971, lalu pindah ke Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti tiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD ia sudah bisa membawakan lagu-lagu barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Latta Mangeshkar. Selain itu ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan oleh Umm Kaltsum.
Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya, Arifin Ganda sering mengajarkan lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil.
Karena usia Rhoma yang tidak berbeda jauh dengan kakaknya, mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang malas mengikuti pengajian di surau atau di rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah dan ibunya bertanya, apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ‘ya. Berangkat ke sekolah pun mereka selalu berangkat bersama-sama dengan berboncengan sepeda. Keduanya bersekolah di SD Kibono, Manggarai.
Ketika SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-murid yang lain yang sering malu-malu di depan kelas. Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai kelas-kelas lain. Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu anak-anak maupun lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian dari penyanyi senior, Bing Slamet karena terkesan melihat penampilan Rhoma ketika menyanyikan lagu barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari, ketika Rhoma duduk di kelas 4, Bing Slamet membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang berharga bagi Rhoma.
Sejak saat itu, meskipun belum berpikir untuk menjadi penyanyi Rhoma sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Atas usaha sendiri ia belajar memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang sekolah yang pertama dicarinya adalah gitar. Begitu pula ketika setiap kali ia keluar rumah hampir selalu membawa gitar. Pernah suatu kali ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulah tersebut, ibunya merampas gitarnya lalu melemparkannya ke pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat Rhoma sedih karena gitar adalah teman nomor satu baginya.
Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari musik ia mulai menyadari bahwa meskipun ayah dan ibunya pasangan berdarah ningrat yang menyukai musik, tetapi mereka tetap menganggap bahwa dunia musik bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan atau dijadikan profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia menyanyi dan beranggapan, bahwa musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma semakin berkembang di luar rumah karena jika di rumah ia kurang mendapat dukungan.
Pada saat Rhoma duduk di kelas 5 SD tahun 1958 ayahnya meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak yaitu: Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni, Herry dan Yayang. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya yang masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari istrinya yang dulu dan setelah menikah dengan ibu Rhoma memiliki dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup suasana di rumahnya feodal. Bahasa sehari-hari ayah dan ibunya adalah bahasa Belanda. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tatakrama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan ‘Den’ (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, seperti bermain hujan ataupun membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan memiliki beberapa mobil, seperti, mobil merk Impala, mobil yang tergolong mewah pada waktu itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal tersebut tidak ada lagi setelah ayah tirinya hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan, berkat ayah tiri serta pamannya inilah Rhoma mendapatkan ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat musik akustik seperti, gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya di dunia musik. Rhoma juga sering adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan atau paling tidak saling bersaingan. Dengan demikian perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Bukitduri, tempat tinggalnya hampir setiap kampung di daerah itu terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukitduri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Banyak anak muda dari Bukitduri Puteran dan dari Manggarai yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah, bahwa teman-temannya hampir selalu menjadikannya sebagai pemimpin. Tentu saja bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhoma-lah yang diharapkan tampil di depan untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali Rhoma juga sering mengalami babak belur bahkan luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing karena sejak kecil ia sudah dapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) kepada Pak Rohimin di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di jalan Talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng para anggotanya saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah, maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas sehingga karena malu maka ia sering berpindah sekolah. Kelas 3 SMP pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Pada waktu bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam dan luar sekolah membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Pada masa SMA di Solo Rhoma pernah melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan kota Solo. Di sana ia ditampung di rumah seorang pengamen yang bernama Mas Gito. Sebenarnya sebelum terdampar di Solo ia berniat hendak belajar di pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, karena tidak membeli karcis Rhoma, Benny (kakaknya) dan tiga orang temannya, Daeng, Umar dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan dan diturunkan ditempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari Yogya mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Ketika di Solo Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolahnya diperoleh dari ngamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Kemudian, ia kuliah di Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus. Tapi, hal tersebut hanya bertahan satu tahun karena ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar.
Musik pop dan rock merupakan langkah pertama Rhoma sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan kakak kandungnya, Benny Muharram, bahwa Rhoma sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan oleh Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967, meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes melayu.
Selain menjadi penyanyi Orkes Melayu Candraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody. Bersama band-band tersebut Rhoma membawakan lagu-lagu pop barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu yang berjudul Diana ataupun Put Your Head On My Shoulder dan lagunya Andy Williams seperti, Butterfly, Moon River, serta Tom Jones seperti, Green-green Grass of Home, Dellilah.
Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya ia sempat membentuk Band Gayhand. Ketika musik Rock n’ Roll melanda Indonesia, ternyata hal tersebut membuat Rhoma terpesona hingga dalam hatinya ia bertekad “Elvis saja bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa”.
Namun begitu berada di dalam dunia musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records. Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi, Melati di Musim Kemarau dan Cinta Buta. Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknya Lima, dibawakan duet ini. Munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.
Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, kemudian Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi juara.
Pada acara Panggung Gembira Hari Radio ke 26 di halaman gedung RRI Jln. Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Rhoma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi-penyanyi duet lainnya, seperti, Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani- Benyamin Sueb. Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13 Oktober 1970.
Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica Agustina Timbuleng dan lantas menikahinya pada tahun 1972. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak, yaitu Debbie Veramasari, Fikri Zulfikar dan Romy Syahrial.
Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli serta Yoan dengan lagu Si Kodok pada tahun 1976. Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta Group yang bersemboyan Voice of Moslem (Suara Muslim), Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dengan menyuntikkan musik rock ke dalam album dangdutnya yang pertama yang berjudul ‘Begadang’, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega dan Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulut pro dan kontra.
Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis. Ujung-ujungnya diadakan diskusi yang bertajuk “Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut” di Gedung Merdeka Bandung pada akhir Juni 1976, dengan Maman S. dari majalah Aktuil sebagai penyelenggara, dan menghadirkan pembicara Dr. Sudjoko dari ITB, Remy Silado, Benny Subarja dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma yang tidak hadir. Ahmad Albar dan Harry Roesli yang diundang tidak juga tidak kelihatan. Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti, tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado. Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, pada 22 Desember 1977 dengan maksud melihat mana yang lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan merpati putih sebagai tanda perdamaian.
Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora tersebut juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi sampai-sampi masyarakat menjulukinya ‘Raja Dangdut’. Album-album rekamannya yang semakin ‘ngerock’ mengalir tanpa bisa dibendung, bahkan oleh pemerintah Orde Baru sekalipun yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Hal tersebut merupakan dampak atas lagu-lagunya yang menyindir pemerintah, seperti pada lagu Hak Azasi. Pada lagu tersebut dengan gagah berani Rhoma berbicara mengenai HAM, kebebasan berbicara, beragama, bekerja dan sebagainya.
Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang. Setelah album Begadang menjadi sangat populer, menyusul album-album berikutnya, seperti; Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi oleh Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini lantas berubah menjadi Soneta Records, milik Rhoma.
Langkah tegap Rhoma semakin mantap dengan membintang 24 judul film, yaitu ;
diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis. Dalam film Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap dari grup rock Aka yang pernah bertarung dengan Soneta Group di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.
Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan tahun 1984. “Tidak ada kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah Tempo pada 30 Juni 1984. sementara itu Rhoma sendiri berkata, “Saya takut publikasi, ternyata, saya sudah terseret jauh”.
Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma laku. Bahkan, sebelum sebuah film selesai diproses orang sudah membelinya, seperti film berjudul Satria Bergitar misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Menurut kakaknya, Benny, yang juga produser PT Rhoma Film, Rhoma tidak pernah makan uang dari hasil film, tetapi dari hasil penjualan kaset. Uang hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja dan perbaikan kampung. Bahkan, pada tahun 1983 Rhoma membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan perolehan material, Rhoma bisa dikatakan sebagai pemusik terkaya di negeri ini. Bayangkan, sebelum pemusik lain naik mobil Mercy, ia sudah menikmati kenyamanan mobil mewah itu sejak tahun 70-an. Hal tersebut terindikasi ketika membaca wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, saat Rhoma secara rendah hati menyatakan punya uang yang cukup meski tidak banyak. Hal itu masuk akal, mengingat sejeblok-jebloknya kaset Rhoma Irama di pasaran, minimal akan terjual sampai 400 ribu copy per album. Ini semakin menggelikan jika dibandingkan dengan musisi di luar dangdut yang acapkali berbangga secara berlebihan meski kasetnya hanya terjual tak lebih dari 100 ribu copy.
Boleh jadi sampai kini kejayaan Rhoma belum tergantikan. Kalau dulu ada sebutan The Big Five untuk para ‘Bintang Mahal’, seperti, Roby Sugara, Roy Marten dan Yati Ocktavia, maka pada saat yang sama sebenarnya nilai kontrak Rhoma tetap jauh di atas mereka. Bahkan, banyak produser film rela menunggu giliran sampai tiga tahun hanya untuk dapat mengontrak Rhoma.
Selain itu, Rhoma juga terhitung sebagai salah satu penghibur paling sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam negeri, tetapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura dan Brunei Darussalam dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Beberapa media massa Indonesia melaporkan, bahwa, penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka lantaran terlalu berdesakan. Hal yang sangat disesalkan Rhoma sendiri. “Untuk mendapatkan hiburan, mengapa mesti sampai jatuh korban begitu?” katanya.
Rhoma menyatakan, bahwa dirinya banyak dijadikan bahan rujukan penelitian. Ada sekitar 7 skripsi tentang dirinya dan musik yang telah dihasilkan. Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya obyek penelitian, salah satunya adalah William H. Frederick, Doktor Sosiologi, Universitas Ohio, AS pada 1985 dengan judul; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture, yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat. Ia menyebutkan dalam tesisnya, bahwa: “Rhoma Irama adalah revolusioner dalam dunia musik Indonesia. Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama adalah penghibur paling jempolan.
Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma Irama”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Bila di dunia musik Amerika sosok Mick Jagger sangat berpengaruh, di Indonesia, bandingan sosok yang sepadan dengannya ada pada figur Rhoma Irama. Kedua orang ini sama-sama jenius dan otodidak. Keduanya mampu tampil ke posisi puncak musikalnya karena kekuatan bakat alam yang luar biasa hebat.”
Pada akhir April 1994 Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tanaka dari Life Record Jepang di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam bahasa Inggris dan Jepang, untuk diedarkan di pasar Internasional. Rencananya lagu-lagu tersebut dibuat dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).
Mereka digambarkan sebagai raja dan ratu yang sama-sama mempunyai kerajaan. Suasana itu makin kental dan legitimate dengan hadirnya MURI (Museum Rekor Indonesia -red.) yang memasukkan Rhoma dan Elvy sebagai raja dan ratu dangdut Indonesia. Meski terlambat, tentu cukup menghibur. Soalnya, jauh sebelum itu, di tahun 1985, majalah Asia Week telah menempatkan Rhoma Irama sebagai raja musik Asia Tenggara.
Rhoma Irama dengan Soneta Group-nya telah banyak mempersembahkan lagu-lagu bermutu untuk kita. Bahkan, sebelum lahir Soneta Group pada 13 Oktober 1970 pun, Rhoma Irama telah menyanyikan banyak lagu. Berdasarkan pengakuannya, Rhoma Irama telah menciptakan sekitar 685 buah lagu. Dari 685 lagu ciptaan Rhoma Irama tersebut, di sini hanya akan dipaparkan sebagian saja, karena keterbatasan pengetahuan penulis tentang lagu-lagu beliau.
Berikut ini adalah lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama dengan iringan musik oleh Soneta Group.
Nama beken : Rhoma Irama
Lahir : Tasikmalaya, 11 Desember 1946
Ayah : Raden Burdah Anggawirya
Ibu :Tuti Juariah
Isteri : Ricca Rachim (11 April 1959)
Pendidikan:
SD Kibono Manggarai Jakarta
SMP Negeri XV Jakarta
SMA Negeri VIII Jakarta (sampai kelas II)
SMA PSKD Jakarta
St Joseph Solo
SMA 17 Agustus Tebet Jakarta
Fakultas Sospol Universitas 17 Agustus
Alamat:
Jalan Pondok Jaya VI/14, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7192571
E-mail:
ricca_rachim@yahoo.com
Rhoma Irama adalah seorang revolusioner dalam dunia musik Indonesia yang mencanangkan semboyan Voice of Moslem pada 13 Oktober 1973 sekaligus menjadi agen pembaharu musik Melayu yang memadukan unsur musik rock dalam musik melayu serta melakukan improvisasi atas syair, lirik, kostum dan penampilan di atas panggung.
Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama yang berjuluk Raja Dangdut, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara, yaitu delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan saudara kandung, dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya).
Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama Irama Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Ia sangat pandai dalam memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu cianjuran. Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah, ia pun merupakan keturunan ningrat dan pandai pula dalam menyanyi, seperti lagu No Other Love yang sering didengarkan Rhoma sewaktu kecil.
Sebelum tinggal di Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah, kakaknya Benny Muharram dilahirkan. Sedangkan Rhoma lahir di Tasikmalaya beberapa saat setelah pindah ke kota tersebut. Setelah lahir Rhoma, lahir pula adik-adiknya, seperti Handi dan Ance. Setelah itu, mereka pindah lagi ke Jakarta dan tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, lalu pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di kota inilah mereka menghabiskan masa remajanya sampai tahun 1971, lalu pindah ke Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti tiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD ia sudah bisa membawakan lagu-lagu barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Latta Mangeshkar. Selain itu ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan oleh Umm Kaltsum.
Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya, Arifin Ganda sering mengajarkan lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil.
Karena usia Rhoma yang tidak berbeda jauh dengan kakaknya, mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang malas mengikuti pengajian di surau atau di rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah dan ibunya bertanya, apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ‘ya. Berangkat ke sekolah pun mereka selalu berangkat bersama-sama dengan berboncengan sepeda. Keduanya bersekolah di SD Kibono, Manggarai.
Ketika SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-murid yang lain yang sering malu-malu di depan kelas. Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai kelas-kelas lain. Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu anak-anak maupun lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian dari penyanyi senior, Bing Slamet karena terkesan melihat penampilan Rhoma ketika menyanyikan lagu barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari, ketika Rhoma duduk di kelas 4, Bing Slamet membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang berharga bagi Rhoma.
Sejak saat itu, meskipun belum berpikir untuk menjadi penyanyi Rhoma sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Atas usaha sendiri ia belajar memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang sekolah yang pertama dicarinya adalah gitar. Begitu pula ketika setiap kali ia keluar rumah hampir selalu membawa gitar. Pernah suatu kali ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulah tersebut, ibunya merampas gitarnya lalu melemparkannya ke pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat Rhoma sedih karena gitar adalah teman nomor satu baginya.
Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari musik ia mulai menyadari bahwa meskipun ayah dan ibunya pasangan berdarah ningrat yang menyukai musik, tetapi mereka tetap menganggap bahwa dunia musik bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan atau dijadikan profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia menyanyi dan beranggapan, bahwa musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma semakin berkembang di luar rumah karena jika di rumah ia kurang mendapat dukungan.
Pada saat Rhoma duduk di kelas 5 SD tahun 1958 ayahnya meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak yaitu: Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni, Herry dan Yayang. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya yang masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari istrinya yang dulu dan setelah menikah dengan ibu Rhoma memiliki dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup suasana di rumahnya feodal. Bahasa sehari-hari ayah dan ibunya adalah bahasa Belanda. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tatakrama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan ‘Den’ (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, seperti bermain hujan ataupun membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan memiliki beberapa mobil, seperti, mobil merk Impala, mobil yang tergolong mewah pada waktu itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal tersebut tidak ada lagi setelah ayah tirinya hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan, berkat ayah tiri serta pamannya inilah Rhoma mendapatkan ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat musik akustik seperti, gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya di dunia musik. Rhoma juga sering adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan atau paling tidak saling bersaingan. Dengan demikian perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Bukitduri, tempat tinggalnya hampir setiap kampung di daerah itu terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukitduri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Banyak anak muda dari Bukitduri Puteran dan dari Manggarai yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah, bahwa teman-temannya hampir selalu menjadikannya sebagai pemimpin. Tentu saja bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhoma-lah yang diharapkan tampil di depan untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali Rhoma juga sering mengalami babak belur bahkan luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing karena sejak kecil ia sudah dapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) kepada Pak Rohimin di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di jalan Talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng para anggotanya saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah, maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas sehingga karena malu maka ia sering berpindah sekolah. Kelas 3 SMP pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Pada waktu bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam dan luar sekolah membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Pada masa SMA di Solo Rhoma pernah melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan kota Solo. Di sana ia ditampung di rumah seorang pengamen yang bernama Mas Gito. Sebenarnya sebelum terdampar di Solo ia berniat hendak belajar di pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, karena tidak membeli karcis Rhoma, Benny (kakaknya) dan tiga orang temannya, Daeng, Umar dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan dan diturunkan ditempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari Yogya mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Ketika di Solo Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolahnya diperoleh dari ngamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Kemudian, ia kuliah di Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus. Tapi, hal tersebut hanya bertahan satu tahun karena ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar.
Musik pop dan rock merupakan langkah pertama Rhoma sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan kakak kandungnya, Benny Muharram, bahwa Rhoma sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan oleh Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967, meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes melayu.
Selain menjadi penyanyi Orkes Melayu Candraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody. Bersama band-band tersebut Rhoma membawakan lagu-lagu pop barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu yang berjudul Diana ataupun Put Your Head On My Shoulder dan lagunya Andy Williams seperti, Butterfly, Moon River, serta Tom Jones seperti, Green-green Grass of Home, Dellilah.
Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya ia sempat membentuk Band Gayhand. Ketika musik Rock n’ Roll melanda Indonesia, ternyata hal tersebut membuat Rhoma terpesona hingga dalam hatinya ia bertekad “Elvis saja bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa”.
Namun begitu berada di dalam dunia musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records. Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi, Melati di Musim Kemarau dan Cinta Buta. Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknya Lima, dibawakan duet ini. Munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.
Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, kemudian Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi juara.
Pada acara Panggung Gembira Hari Radio ke 26 di halaman gedung RRI Jln. Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Rhoma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi-penyanyi duet lainnya, seperti, Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani- Benyamin Sueb. Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13 Oktober 1970.
Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica Agustina Timbuleng dan lantas menikahinya pada tahun 1972. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak, yaitu Debbie Veramasari, Fikri Zulfikar dan Romy Syahrial.
Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli serta Yoan dengan lagu Si Kodok pada tahun 1976. Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta Group yang bersemboyan Voice of Moslem (Suara Muslim), Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dengan menyuntikkan musik rock ke dalam album dangdutnya yang pertama yang berjudul ‘Begadang’, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega dan Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulut pro dan kontra.
Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis. Ujung-ujungnya diadakan diskusi yang bertajuk “Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut” di Gedung Merdeka Bandung pada akhir Juni 1976, dengan Maman S. dari majalah Aktuil sebagai penyelenggara, dan menghadirkan pembicara Dr. Sudjoko dari ITB, Remy Silado, Benny Subarja dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma yang tidak hadir. Ahmad Albar dan Harry Roesli yang diundang tidak juga tidak kelihatan. Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti, tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado. Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, pada 22 Desember 1977 dengan maksud melihat mana yang lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan merpati putih sebagai tanda perdamaian.
Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora tersebut juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi sampai-sampi masyarakat menjulukinya ‘Raja Dangdut’. Album-album rekamannya yang semakin ‘ngerock’ mengalir tanpa bisa dibendung, bahkan oleh pemerintah Orde Baru sekalipun yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Hal tersebut merupakan dampak atas lagu-lagunya yang menyindir pemerintah, seperti pada lagu Hak Azasi. Pada lagu tersebut dengan gagah berani Rhoma berbicara mengenai HAM, kebebasan berbicara, beragama, bekerja dan sebagainya.
Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang. Setelah album Begadang menjadi sangat populer, menyusul album-album berikutnya, seperti; Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi oleh Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini lantas berubah menjadi Soneta Records, milik Rhoma.
Langkah tegap Rhoma semakin mantap dengan membintang 24 judul film, yaitu ;
- Film Rhoma : Penasaran (1976),
- Film Rhoma : Gitar Tua (1977),
- Film Rhoma : Darah Muda(1977),
- Film Rhoma : Kelana I(1978),
- Film Rhoma : Kelana II(1978),
- Film Rhoma : Begadang(1978),
- Film Rhoma : Raja Dangdut(1978),
- Film Rhoma : Cinta Segitiga (1979),
- Film Rhoma : Camelia (1979),
- Film Rhoma : Perjuangan dan Doa(1980),
- Film Rhoma : Melodi Cinta(1980),
- Badai di Awal Bahagia (1981),
- Film Rhoma : Pengorbanan (1982),
- Film Rhoma : Satria Bergitar(1984),
- Film Rhoma : Cinta Kembar(1984),
- Film Rhoma : Pengabdian (1985),
- Film Rhoma : Menggapai Matahari I(1986),
- Film Rhoma : Menggapai Matahari II (1986),
- Film Rhoma : Nada-nada Rindu (1987),
- Film Rhoma : Bunga Desa(1988),
- Jaka Swara (1990),
- Film Rhoma : Nada & Dakwah (1991),
- Film Rhoma : Tabir Biru(1994),
diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis. Dalam film Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap dari grup rock Aka yang pernah bertarung dengan Soneta Group di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.
Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan tahun 1984. “Tidak ada kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah Tempo pada 30 Juni 1984. sementara itu Rhoma sendiri berkata, “Saya takut publikasi, ternyata, saya sudah terseret jauh”.
Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma laku. Bahkan, sebelum sebuah film selesai diproses orang sudah membelinya, seperti film berjudul Satria Bergitar misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Menurut kakaknya, Benny, yang juga produser PT Rhoma Film, Rhoma tidak pernah makan uang dari hasil film, tetapi dari hasil penjualan kaset. Uang hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja dan perbaikan kampung. Bahkan, pada tahun 1983 Rhoma membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan perolehan material, Rhoma bisa dikatakan sebagai pemusik terkaya di negeri ini. Bayangkan, sebelum pemusik lain naik mobil Mercy, ia sudah menikmati kenyamanan mobil mewah itu sejak tahun 70-an. Hal tersebut terindikasi ketika membaca wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, saat Rhoma secara rendah hati menyatakan punya uang yang cukup meski tidak banyak. Hal itu masuk akal, mengingat sejeblok-jebloknya kaset Rhoma Irama di pasaran, minimal akan terjual sampai 400 ribu copy per album. Ini semakin menggelikan jika dibandingkan dengan musisi di luar dangdut yang acapkali berbangga secara berlebihan meski kasetnya hanya terjual tak lebih dari 100 ribu copy.
Boleh jadi sampai kini kejayaan Rhoma belum tergantikan. Kalau dulu ada sebutan The Big Five untuk para ‘Bintang Mahal’, seperti, Roby Sugara, Roy Marten dan Yati Ocktavia, maka pada saat yang sama sebenarnya nilai kontrak Rhoma tetap jauh di atas mereka. Bahkan, banyak produser film rela menunggu giliran sampai tiga tahun hanya untuk dapat mengontrak Rhoma.
Selain itu, Rhoma juga terhitung sebagai salah satu penghibur paling sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam negeri, tetapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura dan Brunei Darussalam dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Beberapa media massa Indonesia melaporkan, bahwa, penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka lantaran terlalu berdesakan. Hal yang sangat disesalkan Rhoma sendiri. “Untuk mendapatkan hiburan, mengapa mesti sampai jatuh korban begitu?” katanya.
Rhoma menyatakan, bahwa dirinya banyak dijadikan bahan rujukan penelitian. Ada sekitar 7 skripsi tentang dirinya dan musik yang telah dihasilkan. Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya obyek penelitian, salah satunya adalah William H. Frederick, Doktor Sosiologi, Universitas Ohio, AS pada 1985 dengan judul; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture, yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat. Ia menyebutkan dalam tesisnya, bahwa: “Rhoma Irama adalah revolusioner dalam dunia musik Indonesia. Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama adalah penghibur paling jempolan.
Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma Irama”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Bila di dunia musik Amerika sosok Mick Jagger sangat berpengaruh, di Indonesia, bandingan sosok yang sepadan dengannya ada pada figur Rhoma Irama. Kedua orang ini sama-sama jenius dan otodidak. Keduanya mampu tampil ke posisi puncak musikalnya karena kekuatan bakat alam yang luar biasa hebat.”
Pada akhir April 1994 Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tanaka dari Life Record Jepang di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam bahasa Inggris dan Jepang, untuk diedarkan di pasar Internasional. Rencananya lagu-lagu tersebut dibuat dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).
Mereka digambarkan sebagai raja dan ratu yang sama-sama mempunyai kerajaan. Suasana itu makin kental dan legitimate dengan hadirnya MURI (Museum Rekor Indonesia -red.) yang memasukkan Rhoma dan Elvy sebagai raja dan ratu dangdut Indonesia. Meski terlambat, tentu cukup menghibur. Soalnya, jauh sebelum itu, di tahun 1985, majalah Asia Week telah menempatkan Rhoma Irama sebagai raja musik Asia Tenggara.
Album Kaset Rhoma Irama
Rhoma Irama dengan Soneta Group-nya telah banyak mempersembahkan lagu-lagu bermutu untuk kita. Bahkan, sebelum lahir Soneta Group pada 13 Oktober 1970 pun, Rhoma Irama telah menyanyikan banyak lagu. Berdasarkan pengakuannya, Rhoma Irama telah menciptakan sekitar 685 buah lagu. Dari 685 lagu ciptaan Rhoma Irama tersebut, di sini hanya akan dipaparkan sebagian saja, karena keterbatasan pengetahuan penulis tentang lagu-lagu beliau.
Berikut ini adalah lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama dengan iringan musik oleh Soneta Group.
1. Begadang (Rhoma Irama)
2. Sengaja (Elvie S.)
3. Sampai Pagi (Rhoma Irama/Elvie S.)
4. Tung Keripit (Rhoma Irama)
5. Cinta Pertama (Rhoma Irama)
6. Kampungan (Elvie S.)
7. Yale le (Rhoma Irama)
8. Tak Tega (Rhoma Irama)
9. Sedingin Salju (Elvie S.)
10. Sya la la (Rhoma Irama/Elvie S.)
Inilah debut album Soneta Group bersama Yukawi yang melejitkan hits Begadang. Dengan lirik dan beat yang sederhana lagu Begadang menghantarkan Soneta Group bersama Pak Haji dan Elvy Sukaesih ke gerbang kesuksesan. Konon sebetulnya yang dijagokan adalah lagu Tung Keripit yang dinilai memiliki nilai lebih dari segi aransemen musik dan beat lagu. Lagu Begadang sempat pula direkam dan diedarkan oleh Remaco dengan artis Favourites Group pimpinan A. Riyanto. Pada tahun 80-an, Group Jazz Karimata (kalau tidak salah) pernah merekam lagu Begadang secara instrumental.Album Begadang merupakan kaset Indonesia pertama yang menyelipkan lirik lagu pada sampul/cover kasetnya.
Cover kaset menampilkan foto Pak Haji yang berambut gondrong dan Elvy Sukaesih berdiri di depan rumah dengan pakaian khas tahun 70-an.
Soneta Vol-2 1974 Penasaran (Yukawi)
1. Penasaran (Rhoma Irama)
2. Kejam (Elvie S.)
3. Kelana 3 (Rhoma Irama)
4. Asam Garam (Rhoma Irama/Elvie S.)
5. Engkau (Elvie S.)
6. Kubawa (Elvie S.)
7. Gembala (Rhoma Irama)
8. Rujuk (Rhoma Irama/Elvie S.)
9. Teman (Rhoma Irama)
10. Satu Antara Dua (Elvie S.)
Album ini melahirkan hits Penasaran. Lagu Teman sekilas sangat mirip dengan lagu Holiday-nya Bee Gees.Cover kaset gambar setengah badan yang diambil dari samping, Pak Haji bersedekap berhadapan dengan Elvy S. yang juga bersedekap saling berpandangan.
Soneta Vol-3 1975 Rupiah (Yukawi)
1. Rupiah (Rhoma Irama)
2. Birahi (Elvie S.)
3. Beku (Rhoma Irama)
4. Rambate Rata Hayo (Rhoma Irama/Elvie S.)
5. Datang untuk Pergi (Elvie S.)
6. Dendam (Rhoma Irama)
7. Asal Sombong (Elvie S.)
8. Air Mata Darah (Rhoma Irama)
9. Hello-hello (Rhoma Irama/Elvie S.)
10.Mengapa Merana (Elvie S.)
Album ini dirilis menjelang keberangkatan Pak Haji ke tanah suci. Cover kasetnya keren. Pak Haji dan Elvy S. berdiri sejajar bertumpu pada instrumen musik dengan busana merah menyala dan rambut yang dibiarkan tergerai.Album ini menjadi puncak perseteruan antara Remaco dan Yukawi yang saling mengklaim mempunyai hak kontrak atas Pak Haji, Elvy dan Soneta. Bahkan saling perang iklan/somasi yang dimuat pada majalah Tempo. Album ini juga merupakan album terakhir Elvy S. bergabung dengan Soneta dan selanjutnya bersolo karir di bawah Remaco, seteru Yukawi. Lagu-lagu dalam album ini malah direkam dan diedarkan oleh Remaco dengan penyanyi Nanang Qosim (Qori’) dan mengganti judul lagu Rupiah menjadi Uang, Birahi menjadi Nafsu dan Hello-hello menjadi Apa Kabar. Remaco mengaku telah membeli lagu tersebut dari pihak Pak Haji. Pak Haji yang saat itu sedang berada di karantina Haji sama sekali tidak mengetahuinya. Belakangan diketahui ada kerabat Pak Haji yang menjual lagu tersebut kepada Remaco.
Semua lagu ciptaan Pak Haji kecuali lagu Beku yang diciptakan bersama Yeyet (ada yang tahu siapa dan di mana Yeyet ini sekarang?)
Lagu terakhir (Mengapa Merana) sepertinya tidak dibuat dan diiringi oleh Soneta karena terasa sekali atmosfernya beda dengan atmosfer musik Soneta.
Soneta Vol-4 1975 Darah Muda (Yukawi)
1. Darah Muda (Rhoma Irama)
2. Apa Kabar (Rhoma Irama/Rita S.)
3. Kematian (Rhoma Irama)
4. Biduan (Rita S.)
5. Cuma Kamu (Rhoma Irama/Rita S.)
6. Awet Muda (Rhoma Irama)
7. Dilarang Melarang (Rita S.)
8. Pria Idaman (Rita S.)
9. Api dan Lautan (Rhoma Irama)
Album ini adalah debut pertama Rita Sugiarto bergabung bersama Soneta. Album ini merupakan kaset pertama yang memberikan hadiah kepada pembelinya berupa sebuah poster yang berukuran sangat besar yang bergambar Pak Haji yang sudah tidak gondrong lagi sepulang ibadah haji dan Rita S. yang sedang melambaikan tangan.Soneta Vol-5 1976 Musik (Yukawi)
1. Musik (Rhoma Irama)
2. Hitam (Rita S.)
3. Lapar (Rhoma Irama)
4. Joget (Rhoma Irama/Rita S.)
5. Masya Allah (Rhoma Irama)
6. Pasangan (Rita S.)
7. Kandungan (Rhoma Irama/Rita S.)
8. Nyanyian Setan (Rhoma Irama)
9. Kunang-kunang (Rita S.)
Album ini adalah album terakhir Herman (Bass) dan Kadir (gendang) bergabung dengan Soneta. Karena perbedaan prinsip keduanya mengundurkan diri usai sebuah pertunjukan tour show di Jawa Timur.Herman dan Kadir kemudian membentuk OM. Sanita dengan penyanyi Teti Safari, kemudian sempat bergabung dalam OM. Mahkota bersama Elvy Sukaesih dan sempat pula bergabung dengan Tarantula-nya Camelia Malik dan Reynold Panggabean. Penampilan mereka bersama Tarantula bisa disaksikan pada film Colak-coleknya Camelia Malik.
Tahun 2003 Herman kembali bergabung menggantikan Alm. H. Popong yang saat itu sakit keras.
Cover kasetnya bergambar Pak Haji menyandang gitar dengan pakaian putih lengkap dengan sorbannya.
-Soneta Vol-6 1977 135 juta (Yukawi)
1. 135.000.000 (Rhoma Irama)
2. Ajojing (Rhoma Irama/Rita S.)
3. Cup-cup (Rita S.)
4. Any (Rhoma Irama)
5. Lidah (Rhoma Irama)
6. Cinta Segitiga (Rita S.)
7. Pemarah (Rhoma Irama)
8. Bunga Surga (Rhoma Irama/Rita S.)
9. Lukaku (Rita S.)
Posisi gendang pada album ini diisi oleh H. Afif, yang awalnya adalah musisi Rock Gafiyas dari Jawa Timur. Herman masih sempat mengisi bass untuk album ini.Lagu 135.000.000 menjadi lagu favorit pilihan pemirsa yang diselenggarakan oleh Radio Puspen Hankam ABRI, sedangkan Rhoma Irama dan Rita S. meraih predikat penyanyi kesayangan pemirsa.
Lagu 135.000.000 adalah satu-satunya lagu di Indonesia yang judulnya berubah-ubah setiap tahun. Saya punya rekaman live Pak Haji menyanyikannya menjadi 165.000.000 pada pertunjukan Indonesia Musik Festival di Istora Senayan, menjadi 185.000.000 pada pertunjukan Semarak Dangdut di Ancol dan belakangan menjadi 200.000.000.
Cover album ini Pak Haji berjubah hitam mengadahkan tangan ke udara sambil menyandang gitar.
Soneta Vol-7 1977 Santai (Naviri)
1. Santai (Rhoma Irama/Rita S.)
2. Keramat (Rhoma Irama)
3. Teman Biasa (Rita S.)
4. Kekasih (Rhoma Irama)
5. Do Mi Sol (Rhoma Irama)
6. Bahasa Isyarat (Rita S.)
7. Banyak Jalan Menuju Roma (Rhoma Irama)
8. Bercanda (Rita Sugiarto)
Pak Haji pada saat perilisan album ini menyebutnya sebagai funky dangdut. Indra Lesmana sangat suka lagu Santai yang menurutnya pada Majalah Mutiara tahun 1985 sebagai fusion. Group Band GIGI pernah membawakan lagu ini pada show-nya di Amerika. Kolaborasi yang apik untuk lagu santai terjadi saat acara Joged RCTI yang menampilkan kolaborasi Soneta dan DKSB-nya (alm.) Harry Rusli yang menggandeng penyanyi jazz, Shania untuk duet bersama Pak Haji. Kehebohan terjadi karena Harry Rusli membawa perabot makan mulai dari piring, sendok sampai meja keatas panggung. Slank-pun pernah membawakan lagu ini pada pertunjukan Slank dan Soneta di Sidoarjo. Di tangan Slank, lagu Santai jadi makin nge-rock dan sangat asyik dinikmati.Cover album ini bergambar Pak Haji sedang memainkan Sitar India lengkap dengan tumpukan gendang tabla-nya. Pada Album ini bass sudah mulai diisi oleh H. Popong, rekan H. Afif di Band Gafiyas.
Soneta Vol-8 1978 Hak Azazi (Yukawi)
1. Hak Azazi (Rhoma Irama)
2. Cape (Rhoma Irama/Rita S.)
3. Buta (Rhoma Irama)
4. Mati Aku (Rita S.)
5. Ingkar (Rhoma Irama)
6. Percuma (Rita S.)
7. Kuraca (Rhoma Irama)
8. Ada Udang di Balik Batu (Rhoma Irama/Rita S.)
Menurut saya inilah awal revolusi dangdut ala Soneta. Raungan gitar Pak Haji mulai dominan pada album ini. Sound Gitarnya sudah sangat mirip Ritchie Blackmore. Saya paling suka permainan melody Pak Haji pada lagu Buta dan Percuma. Sepertinya lagu Buta ini satu-satunya lagu yang menggambarkan perasaan seorang tunanetra benar-benar menyentuh. Pada lagu Ingkar, Pak Haji mencoba bergaya nge-rap pada beberapa bagian syairnya. Lagu Kuraca mengingatkan saya pada lagu Dendang Riang yang dibawakan Pak Haji tahun 70-an bersama OM. Purnama. Terobosan Pak Haji bersama SONETA di album ini benar-benar berhasil dan hebat.Album ini sempat dilarang diiklankan di TVRI, bahkan mulai pada saat itu Rhoma dan Soneta benar-benar diharamkan masuk TVRI meskipun hanya lewat iklan. Alasan tertulisnya tidak pernah ada. Tetapi kemungkinan karena kemenangan PPP yang didukung Pak Haji atas Golkar di DKI Jakarta membuat merah muka para penguasa saat itu. Saya pernah membaca alasan yang sangat menggelikan yaitu karena dangdut dianggap bukan budaya nasional, bahkan menyuruh Pak Haji mengganti suara gendang dengan drum. Apakah musik Pop itu budaya Nasional, sehingga bisa bebas wara-wiri muncul di TVRI? Rhoma tetap tak bergeming, Soneta tetap eksis tanpa TVRI. Meskipun begitu Pak Haji sempat pula merilis Album Pop bertajuk Remaja dan Bulan dengan iringan Naviri Group.
Cover kaset album ini bergambar Pak Haji dan Rita S. berjaket kulit ketat saling menyandang guitar. Bagi yang jeli ternyata album ini diedarkan dengan dua macam gambar cover yang berbeda meskipun dengan nuansa dan pakaian yag sama.
Soneta Vol-9 1979 Begadang 2(II-Yukawi)
1. Begadang II (Rhoma Irama)
2. Bulan (Rita S.)
3. Terpaksa (Rhoma Irama)
4. Siapa (Rita S.)
5. Insya Allah (Rhoma Irama)
6. Tak Pernah (Rita S.)
7. Lelaki (Rhoma Irama)
8. Hayo (Rhoma Irama)
Sepertinya album ini dibuat berbarengan dengan Volume VIII, karena pada Volume VIII sudah tercatat lagu Hayo pada urutan terakhir tetapi dicoret dengan tinta hitam. Album ini bergambar foto Pak Haji saat tampil live show.Soneta Vol-10 1980 Sahabat (Yukawi)
1. Sahabat (Rhoma Irama)
2. Buaya (Rita S.)
3. Tersesat (Rhoma Irama)
4. Tak Sabar (Rita S.)
5. Takwa (Rhoma Irama)
6. Srigala Berbulu Domba (Rita S.)
Ternyata revolusi belum berakhir. Lewat Album ini Soneta kembali membuktikan keunggulannya dalam meramu musik Rock-Dangdut yang disebut Pak Haji sebagai Dynamic Dangdut. Perubahan terlihat jelas pada pukulan gendang H. Afif yang kini dilengkapi drum. Juga raungan Hammond dan Farfisa-nya H. Riswan pada lagu tersesat.Album ini merupakan album volume terakhir Rita S. bergabung dengan SONETA, dan untuk selanjutnya ber-solo karir mendirikan Jackta Group bersama suaminya Jacky Zimah dan melambungkan hits Jacky.
Album ini bergambar Pak Haji menyandang gitar dalam dua frame yang bersambungan.
Soneta Vol-11 1980 Indonesia(Yukawi)
1. Indonesia (Rhoma Irama)
2. Sawan Kam Hina ((Rhoma Irama/Nandani)
3. Jangan Lagi (Nandani)
4. Takkan Lagi (Rhoma Irama)
5. Romantika (Rhoma Irama)
Album ini makin membuat merah telinga rezim korup Orde Baru. Korupsi dan kesenjangan sosial digarap habis-habisan pada lagu Indonesia. Sampai saat ini lagu Indonesia tetap aktual untuk dibawakan. “Yang kaya makin kaya… yang miskin makin miskin…” tetap terjadi sampai saat ini. Bisa dikatakan inilah lagu kritik sosial terbaik Pak Haji dan Soneta.Untuk pertama kalinya album Soneta dimulai dengan sapaan Assalamualaykum kepada para penggemar. Album ini Pak Haji menggamit Nandani sebagai penyanyi tamu menggantikan Rita Sugiarto. Lagu Takkan Lagi diambil dari lagu film India yang berjudul sama yaitu Main Tulsi Tere Anggar Ki.
Untuk pertama kalinya pula side B diisi tetap dengan lagu-lagu Soneta setelah pada album-album sebelumnya Side B diisi oleh grup dangdut lain, seperti: Meggy Z, Ruston Nawawi, dll.
Album ini bercover foto Pak Haji berkaos kuning, menyandang gitar dengan latar bendera merah putih.
1. Setetes Air Hina (Rhoma Irama)
2. Sebujur Bangkai (Rhoma Irama)
3. Qur’an dan Koran (Rhoma Irama)
4. Citra Cinta (Rhoma Irama)
5. Adu Domba (Rhoma Irama)
Untuk pertama kalinya memakai judul album yang tidak ada dalam deretan lagu. Dibuka dengan intro musik layaknya pertunjukan panggung drama. Pada album ini terdengar sekali gaya pukulan gendang H. Afif yang sangat berbeda dengan pukulan gendang grup dangdut lainnya. Soneta makin ekspresif di album ini. Pemilihan judul album sangat sesuai dengan syair-syair lagu yang sangat sarat nilai dakwah.Pada album ini ada beberapa bafian bass yang dimainkan oleh Lucy Angoman, bassist Soneta Girl karena kebetulan H. Popong cidera tangan.
Cover album ini mengambil gambar dari satu scene adegan lagu Bimbang dalam film Sebuah Pengorbanan.
- Soneta Vol-13 1983 Emansipasi Wanita(Soneta Record)
1. Emansipasi Wanita? (Rhoma Irama)
2. Modern (Rhoma Irama)
3. Nasib Bunga (Noer Halimah)
4. Lagi-lagi Cinta (Rhoma Irama)
5. Nilai Sehat (Rhoma Irama)
Album ini merupakan album pertama yang diproduksi sendiri oleh Pak Haji di bawah label Soneta Record yang mengambil alih Yukawi karena sudah tidak aktif lagi. Album ini membawa pencerahan baru bagi musik Soneta. Pak Haji memasukkan Brass Section yang diisi oleh Dadi, Farid dan Yanto pada saxofone, alto sax dan trompet. Penyanyi wanitanya pun pendatang baru yang diperkenalkan langsung dalam album ini, yaitu Nur Halimah untuk membawakan lagu manis, Nasib Bunga.Sayangnya album spektakuler ini harus terkena imbas peceraian Pak Haji dengan Ibu Veronica yang sempat membuat banyak penggemar kecewa, bahkan ada beberapa yang membakar koleksi kaset-kaset Sonetanya (tapi akhirnya pada nyesel tuh!).
Album ini sangat kaya dalam aransemen musik dan kuat dalam syair lagu-lagunya. Pak Haji mengangkat tema Emansipasi yang belum pernah diangkat oleh musisi Indonesia sampai saat ini. Saya paling suka syair lagu Nilai Sehat, maknanya dalam sekali. Album ini sempat dirilis ulang tetapi dengan mengangkat lagu Modern sebagai judul utamanya.
-Soneta Vol-14 1989 Judi (Maa Record)
1. Judi (Rhoma Irama)
2. Dasi dan Gincu (Rhoma Irama/Riza Umami)
3. Penyakit Cinta (Riza Umami)
4. Hatimu Hatiku (Rhoma Irama/Riza Umami)
5. Roda Kehidupan (Rhoma Irama)
6. Harga Diri (Rhoma Irama)
Album ini adalah pecahan album soundtrack film Nada-nada Rindu yang keseluruhan berisi 8 lagu dan mungkin atas perhitungan bisnis dibagi menjadi dua album. Sejatinya album ini hanya berisi 2 lagu yang bukan soundtrack film yaitu Penyakit Cinta dan Harga Diri. Untuk album ini Pak Haji kembali menggamit Riza Umami pada vokal pendamping. Memang secara power suara Riza Umami lebih kuat dibanding Nur Halimah yang sangat cocok untuk lagu-lagu slow/lembut.Lagu Judi menjadi titik awal kemunculan kembali Soneta di TVRI setelah dicekal selama 11 tahun, sejak tahun 1977. Lagu Judi muncul pertama kali di TVRI pada tanggal 8 Mei 1988 pada acara Kamera Ria.
Soneta Vol-15 1989 Gali Lobang Tutup Lobang- (MSC Record)
1. Gali Lobang Tutup Lobang (Rhoma Irama)
2. Ibu Kota (Rhoma Irama)
3. 1001 macam (Rhoma Irama)
4. Tergila-gila (Noer Halimah)
5. Masa depan (Rhoma Irama)
Walaupun sudah boleh muncul lagi di TV, tetapi album ini tidak pernah dipromosikan di tv, oleh karena itu tidak ada video klip album ini.Album ini merupakan album terakhir bagi H. Wempy (rhythm guitar), salah seorang anggota awal Soneta yang mengundurkan diri dan kemudian membentuk OM. Rohata yang sempat melambungkan nama Ayu Soraya lewat album Cinta Berpayung Bulan. Selanjutnya posisi rhythm guitar diisi oleh Lukman.
Cover albumnya Pak Haji berjaket kulit coklat berselempang gitar.
Soneta Vol-16 Bujangan (MSC Record)
1. Bujangan (Rhoma Irama)
2. Terserah Kita (Rhoma Irama)
3. Janji itu Hutang (Noer Halimah)
4. Pesta Pasti Berakhir (Rhoma Irama)
5. Bencana (Rhoma Irama)
Album ini boleh dikatakan sebagai mini album, karena side A dan side B hanya berisi 5 lagu tersebut (3 di side A dan 2 di side B). Untuk promosi di tv ditampilkan lagu Bujangan yang di-shoot di Studio Soneta Record.Lagu Pesta Pasti Berakhir sempat dipromosikan pada acara Titian Muhibah kerjsama TVRI dan RTM Malaysia. Cover album bergambar close-up wajah Pak Haji tanpa guitarnya.
Inilah album terakhir Rhoma Irama dan Soneta yang berisi sedikitnya 5 lagu baru, karena selanjutnya dan sampai saat ini Pak Haji hanya merilis album-album single yang hanya berisi 1 lagu baru dan selebihnya lagu-lagu yang sudah pernah dirilis sebelumnya.
BERSUMBER: http://myquran.com/forum/archive/index.php/t-13218.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar