MENONTON ORKES DANGDUT FAMILYS di PAMULANG TIMUR
Menonton konser musik, menghadiri pensi-pensi SMA, lain halnya dengan ingin melihat band idola pentas. Itu semua adalah hobiku sewaktu aku duduk di bangku SMA. Tetapi kini aku sudah kuliah tingkat VI Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, aku merasa bosan dengan hal itu. Menyaksikan dangdut secara live merupakan pengalaman pertamaku dan temanku, Umam. Sebelumnya aku hanya melihat pertunjukan dangdut dari pedagang VCD yang biasa berjualan di pinggir-pinggir jalan. Namun bukan berarti aku buta tentang sejarah musik pembawa aspirasi yang khas dengan biduan seksinya ini dan sederhana dilihat dari segi konstruksi liriknya. Untuk dapat membuka wawasanku lebih jauh tentang dangdut, aku dan Umam tertarik untuk menyaksikan penampilan grup dangdut tersohor dan fenomenal sekali, yaitu ‘Familys’. Mereka begitu terkenal di kawasan Tangerang Selatan, khususnya Pamulang, Pondok Cabe, Ciputat. Bahkan juga di beberapa wilyah sekitar Jawa Barat yang berbatasan dengan Tangerang Selatan, seperti Bogor, Depok, dan beberapa wilayah selatan Jakarta seperti Kebayoran Lama, Lebak Bulus dan sekitarnya. Mereka juga beberapa kali mangadakan pementasan di luar kota seperti di Palembang dan Bandung.
“Tolong kepada panitia sohibul hajat untuk membawa kursi sebanyak sepuluh buah dan satu dus aqua ke atas panggung, terima kasih…,” Begitulah ucapan dari MC, pertanda Acara Pementasan Dangdut Familys segera dimulai. Kali ini Dangdut Familys menggoyang wilayah Pamulang Timur, Tangerang Selatan. Dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, hingga Tangerang, siapa yang tidak kenal Familys? Sebuah nama grup dangdut yang dikenal oleh banyak massa. Mulai dari petani, buruh, pedagang, ibu rumah tangga hingga pejabat, anggota dewan, konglomerat, tua-muda, dewasa dan anak-anak terhibur dengan musik yang khas dengan cengkok aduhai syahdunya ini.
Pada awalnya mereka mendirikan grup musik dangdut atas dasar iseng belaka, sebab pada saat itu terdapat sebuah tempat di mana anak-anak muda yang senang kongkow-kongkow (kumpul-kumpul) dan senang dengan musik dangdut. Di antara mereka ada yang mahir bermain gitar, gendang, bas, dan menyanyi. Akhirnya dibentuklah grup musik dangdut yang diberi nama ‘Familys’, yang berarti keluarga. Nama Familys sendiri dipilih karena para personil musik dangdut tersebut masih mempunyai hubungan persaudaraan atau keluarga. Tapi seiring juga masyarakat akrab menyebut pamilis (familys).
Berawal dari tahun 1992, grup dangdut ini memulai karirnya dengan manggung kecil-kecilan dari kampung ke kampung. Pada akhirnya banyak orang yang mengenal kehadirannya. Kemudian grup dangdut ini sukses pada 5 Juli 1993 di Aliandong (nama sebuah gang di daerah Sawangan, Parung). Prinsip familys tidak megutamakan isi kantong, tetapi kualitas yang lebih dikedepankan. Salah satu pengelola dan pendiri Familys ini adalah Bang Iwan. Ia sudah mengenal dan akrab dengan salah satu personil Soneta Grup pimpinan H. Rhoma Irama, yakni H. Riswan sebagai pemain suling bambu. Bang Iwan pun mempunyai ide agar H. Riswan bersedia menjadi pimpinan dari Grup Dangdut Familys ini. Menurutnya, agar nama Familys menjadi kuat dan lebih terkenal.
Ketika aku dan Umam memasuki wilayah Pamulang Timur, tepatnya Gang Pinang, kami langsung disambut dengan tawaran para pedagang yang menjual bermacam dagangan seperti tahu goreng, tape uli, kacang rebus, pedagang mainan anak, tukang minuman, tukang VCD dangdut, dan sebagainya. Yang menarik di sini, saat aku hendak mendekati seorang pedagang yang menjual kepingan VCD dangdut, ternyata si pedagang banyak menjual VCD Dangdut Familys. Ketika aku mengobrol santai dengannya, ternyata ia pedagang yang setia menjual VCD Dangdut Familys. Menurutnya, sejauh wilayah di mana Familys pentas masih mudah dijangkau dengan tempatnya tinggal di daerah Pondok Aren dan sekitarnya, ia akan selalu ada untuk menjajakan VCD dangdut dari Grup Familys. Bapak pedagang yang berlogat Betawi ini mengaku ia sudah menjadi bagian dari keluarga Familys. bahkan sampai topi yang ia kenakan saat ia berjualan pun bertuliskan ‘Familys’.
Ketika aku berjalan menuju panggung, mataku tertuju pada bagian kolongnya. Di sana aku melihat suatu aktifitas di bawah penerangan lampu bohlam kira-kira berkekuatan sepuluh watt yang digantungkan di kaki bawah panggung. Rasa penasaran menghampiriku, hingga aku memutuskan menghampiri tempat itu. “Ooohhhh…. ternyata seorang pedagang yang juga menjual kepingan VCD Dangdut Familys” ucapku dalam hati. Dia berdagang di kolong bagian belakang panggung yang tingginya kira-kira kurang dari 1,5 meter. Aku berjalan dengan agak membungkuk untuk mencapai posisi si penjual VCD. Barang dagangannya digelar di atas tanah beralaskan kardus. Tukang rokok sesekali singgah ke kolong panggung karena melihat kami mengerumuni tukang VCD.
“Bakal nerangin dagangan saya, inih lampunya saya bawa dari rumah. Kalo listriknya diambil dari listrik panggung,” Itulah jawaban dari pedagang VCD yang benar-benar berlogat Betawi ketika aku menanyakan dari mana sumber listrik yang ia peroleh untuk berdagang. Baru pertama kali aku melihat seorang pedagang yang menjual dagangannya di bawah kolong sebuah panggung. Para pedagang VCD Familys membanderol dagangan mereka dengan harga Rp.20.000/keping, itu banderol harga sebelum acara dangdut dimulai. Namun apabila acara telah rampung harga tersebut dapat berkurang sekitar 10-15 ribu rupiah perkepingnya. “Yah, kan namanya juga udah malam, biar untung dikit juga tapi dagangan bisa abis, Bang,” Tutur pedagang VCD yang juga setia mengikuti alur konser Familys.
Sambil menunggu acara dimulai, aku dan Umam singgah di pedagang yang menjual makanan khas Betawi, diterangi cahaya lampu semprong yang membuatku semakin ingin mencoba makanan khas Betawi ini. Ada Tape Uli, Onde-onde, Tahu dan Kue Apem. Aku membeli tahu dari seorang ibu yang mengaku datang dari Kelurahan Jombang, Ciputat, wilayah yang berbatasan Kecamatan Pondok Aren. Ibu ini selalu berdagang setiap kali Familys manggung. Di sebelahnya ada seorang anak muda yang sedang nongkrong di dekat sebuah motor. Barangkali anaknya. Mungkin mereka mengikuti setiap pertunjukan Familys yang pasti dikunjungi banyak penonton yang bakalan jadi pembeli dagangan ibunya, naik motor membawa bahan-bahan kue juga kompor dan penggorengan. Dari Kelurahan Jombang ke daerah-daerah pemanggungan Familys yang dapat mereka jangkau.
Dengan harga Rp.2.000,- aku dapat menikmati tiga buah tahu goreng yang rasanya sedikit asin. “Saya selalu dagang, Tong (sebutan kepada anak lelaki Betawi) kalo Familys konser. Tapi kalo konser yang jauh-jauh saya absen,” Tutur ibu pedagang. Setelah selesai makan tahu, aku dan Umam melangkah menuju ke arah panggung. Sepanjang jalan menuju panggung banyak dijumpai para pedagang yang menjajakan dagangan lainnya seperti ketoprak, bakso, es, hingga pedagang balon.
Acara yang akan dimulai pukul 21.00 WIB hingga larut ini, terlihat banyak mengundang massa yang ingin bergoyang menikmati dangdut. Penonton yang datang dari berbagai penjuru sekitar Pamulang Timur, Sawangan, Pondok Cabe, Ciputat bahkan ada yang datang dari Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Acara Konser Dangdut Familys dimulai dengan lagu-lagu milik Soneta Group berjudul ‘Riba’. Para penonton larut oleh irama yang didendangkan para personil Familys.
Dangdut merupakan salah satu genre musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam alunan musik dangdut yang dibawakan Familys, para penonton bukan hanya dari masyarakat biasa, namun banyak juga ormas-ormas (organisasi masyarakat) yang berdatangan memadati bagian depan panggung seperti, PP (Pemuda Pancasila), FBR (Front Betawi Rempug), Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi), dan BMB (Barisan Muda Betawi).
Acara semakin meriah, terbukti dari para penonton yang terlihat sangat antusias memenuhi area panggung terutama di bagian depan panggung, dan tak lupa, anak-anak pun larut dalam pementasan dangdut tersebut. Sebagian anak-anak menonton di bagian atas dan pojok panggung. Bahkan ada juga yang menonton dari sela-sela bawah panggung. Ketika aku melirik ke hadapan mereka, mereka sedang asik melihat penampilan sang biduan bernyanyi, ketika sang biduan menaiki latar panggung dengan busananya yang aduhai menggoda birahi. Biduan yang pertama menunjukkan aksinya ialah Amoy Karamoy. Dalam sekejap Amoy berhasil menghipnotis para penonton dengan goyangan mautnya. Aku katakan goyangannya sangat aduhai seksi membuat semua mata terpana, itulah yang mengundang naluri sang penyawer (penonton yang naik ke atas panggung, ikut berjoget sambil menebarkan uang kepada biduan) untuk naik ke panggung sekedar menyawerkan uangnya untuk diberikan kepada sang biduan.
Namun ada hal yang menggangu dalam benakku, yaitu kuota penonton anak-anak yang banyak dan mereka sangat ikut terpukau oleh goyangan yang dipamerkan oleh Amoy. Terlihat pula di atas panggung tersebut transaksi tukar-menukar uang antara penyawer dengan salah satu anggota Familys, yang dikhususkan untuk menukarkan uang kepada penyawer. Misalkan, penyawer mempunyai uang Rp.100.000 kemudian ia ingin berjoget di atas panggung dengan biduan dalam waktu yang lama, maka uang yang Rp.100.000 tersebut ditukarkan dengan anggota familys yang menyediakan uang receh, mulai dari Rp.1000 hingga Rp.50.000,-. Para penyawer hanya menyawer pada biduan yang mereka sukai baik penampilan, maupun lagu yang ia bawakan. Biasanya uang yang didapat oleh biduan dari hasil saweran dimasukan ke dalam kas Familys, dan uang saweran dari penonton dibagikan secara rata, 50% untuk kas Familys, dan 50% untuk honor pemain dan biduan, sesuai kebijakan dari Familys sendiri. Menurut Bang Iwan, selaku koordinator acara dan pengelola Familys, honor penyanyi lebih besar dibandingkan honor para pemain musiknya, sebab biduan lebih mendapat nilai plus. Hal itu dikarenakan biduan membutuhkan modalnya sendiri. Mulai dari perlengkapan make up hingga kostum harus ia persiapkan sendiri. Oleh karena itu biduan dibayar lebih besar dibandingkan honor para pemain lainnya.
Pemain band dalam Grup Familys memiliki seragamnya sendiri. Mungkin salah satu fungsi uang kas adalah untuk membuat kostum mereka. Para pemain band memiliki beberapa jenis kostum. Malam itu mereka mengenakan kemeja tangan pendek berwarna merah dan celana hitam. Waktu kami bertandang ke rumah Bang Iwan, istrinya sempat menunjukkan seragam andalan mereka, yaitu baju lengan pendek dengan motif garis-garis hitam putih, seperti seragam wasit. Aku pernah melihat mereka mengenakan seragam tersebut di cover VCD mereka. Ada lagi satu seragam wajib yang mereka punya, yaitu sejenis kemeja koko (baju muslim bergaya ‘kemeja ecim’ Cina, untuk laki-laki) berwarna putih dan berlengan pendek. Istri Bang Iwan menyebutnya ‘Baju Soneta’. Mungkin karena Grup Dangdut terkenal Soneta sering mengenakan seragam seperti itu, dan juga karena pengaruh Soneta sangat kuat dalam kelompok ini dikarenakan mereka juga dipimpin oleh salah satu personel Soneta, Haji Riswan.
Tepat pukul 01.00 WIB, pementasan dangdut Familys berakhir. Para penonton satu persatu meninggalkan area panggung. Para pedagang siap bergegas untuk menutup dagangannya. Pada saat itulah aku dan Umam mencoba mendekati para biduan yang sedang bersantai sambil beristirahat usai bernyanyi, meminta ijin pada para biduan untuk bisa memotret mereka. Takjub, ketika aku memotret mereka, karena meskipun lelah usai menyanyi, mereka tetap tampil dengan sangat ceria atau bisa dibilang agak sedikit ‘narsis’ ketika aku foto. Setelah sesi foto para biduan selesai, akhirnya para biduan satu persatu meninggalkan panggung dan bergegas untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Para biduan tersebut ada yang dijemput oleh kekasih hati, dan sebagian ada pula yang pulang bersama-sama dengan para personil Familys lainnya.( Pamulang, Tangerang Selatan ).Oleh Sudrajat | Pada Senin, 1 Maret 2010
Bersumber:http://akumassa.org/kontribusi/pamulang-tangerang-selatan/menonton-dangdut-familys-di-pamulang-timur/#more-4453
Tidak ada komentar:
Posting Komentar