Musik pop dan rock ternyata adalah langkah pertama RHOMA IRAMA sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan Benny Mucharam, abang kandungnya, bahwa OMA (sebelum menjadi RHOMA = RADEN HAJI OMA) sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967. Meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes Melayu.
Rhoma yang pandai bermain gitar dan bersuara merdu sangat disukai kawan-kawannya jika dia menyanyi di bawah pohon pinggir Jalan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Di samping menjadi penyanyi Orkes Melayu Chandraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.
Bersama band-band itu dia membawakan lagu-lagu pop Barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu Diana atau Put Your Head on My Shoulder, Andy Williams (Butterfly, Moon River), serta Tom Jones (Green Green Grass of Home, Delilah).
Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya dia membentuk Band Gayhand. Musik kelihatannya sudah menjadi pilihannya hingga kuliah di Universitas 17 Agustus tidak diteruskannya. Musik rock n’ roll yang melanda Indonesia waktu itu membuat pemuda kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, ini terpesona hingga dalam hatinya dia bertekad, "Elvis bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa".
Namun, begitu berada di dalam industri musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru cara menyanyi Ida Royani-Benyamin S atau Titiek Shandora dan Muchsin yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaja dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.
Diiringi BAND ZAENAL COMBO pimpinan Zaenal Arifin, Oma-Inneke direkam dalam sejumlah lagu, seperti Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu Kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat Dekat, Anaknja Lima, Si Oteh, Lontjeng Berbunji, Melati di Musim Kemarau, dan Tjinta Buta.
Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknja Lima, dibawakan duet ini, munculnya pasangan Oma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Titiek Shandora dan Muchsin. Kebiasaan Rhoma meniru suara sejumlah penyanyi Barat membuatnya dengan mudah meniru gaya menyanyi Muchsin dan Benyamin.
Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, Zakaria kemudian menyarankan Oma juga berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura tahun 1971. Oma-Wiwiek berhasil menjadi juara.
Penyanyi-penyanyi duet memang sedang menjadi mode industri musik awal tahun 1970-an. Dalam acara Panggung Gembira Hari Radio Ke-26 di halaman Gedung RRI, Medan Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Oma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi duet lainnya, seperti Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez, dan Ida Royani-Benyamin S.
Duet Oma-Inneke juga diiringi Band Galaxy pimpinan Jopie Item dalam rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Oma menyanyi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskan Oma setelah mendirikan Soneta, misalnya, dalam lagu Mari Gembira meniru seruan yang biasa dilakukan penyanyi rock di luar syair lagu, "Ach … uh… wuuuuuaaaaw... mari kawan kita gembira, jangan pikir hati yang duka, yang membawa bencana bila kau pikirkan juga, baik dengarkan aku bernyanyi demi mengobati rasa hati…".
PERGAULAN Rhoma dengan pemusik pop dan rock juga yang mempertemukannya dengan pemimpin band perempuan Beach Girls, VERONICA AGUSTINA TIMBULENG. Duet Rhoma dan Veronica yang dimulai tahun 1972 menghasilkan tiga anak, yaitu DEBBIE VERAMASARI (33), FIKRI ZULFIKAR (29), dan ROMY SYAHRIAL (28).
Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie, mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli dan Yoan dengan Si Kodok pada tahun 1976.
Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta, Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dan menyuntikkan musik rock dalam album dangdutnya yang pertama berjudul BEGADANG, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulutkan pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis.
Ujung-ujungnya diadakan diskusi "Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut" di Gedung Merdeka Bandung akhir Juni 1976 dengan Maman S dari majalah AKTUIL sebagai penyelenggara dan menghadirkan pembicara Dr Sudjoko dari ITB, Remy Sylado, Benny Subarja, dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma Irama yang tidak hadir. Achmad Albar dan Harry Roesli yang diundang juga tidak kelihatan.
Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado.
Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, 22 Desember 1977, dengan maksud melihat yang mana lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan burung dara putih sebagai tanda perdamaian.
Bercampurnya musik rock dengan berbagai jenis musik sebenarnya hal biasa, sebagaimana terjadi dengan jazz, musik klasik, atau bahkan lagu-lagu rohani Kristiani.
Menurut Krishna Sen dan Davil T Hill dalam bukunya Media, Budaya dan Politik di Indonesia yang terbit tahun 2000, "Sesungguhnya, popularitasnya yang bertahan sebagian disebabkan karena karakter hibridnya (mudah dicangkokkan ke jenis musik apa pun).
Dengan sifat ini dangdut terus-menerus menggabungkan dan melakukan sintesa dengan genre musik lain, termasuk yang mungkin menjadi pesaing di berbagai golongan pasar Indonesia. Banyak bentuk musik populer daerah telah menelurkan berbagai varian dangdut seperti ’dangdut Sunda’ dan ’dangdut Jawa’. Demikian juga genre musik impor. Pada tahun 1980-an ada ’disko dangdut’. Tahun 1996, album Remix Dangdut House Mania sedang ngetop, saat dangdut menyesuaikan diri ke jenis musik internasional yang sedang trendi, yaitu house music".
Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora itu juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi, album-album rekamannya yang semakin ngerock mengalir tanpa dapat dibendung, bahkan oleh Pemerintah Orde Baru yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya, TVRI.
Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang, setelah BEGADANG menjadi sangat populer, menyusul PENASARAN (1976), RUPIAH (1976), DARAH MUDA (1977), MUSIK (1977), 135 JUTA (1978), SANTAI (1979), HAK AZAZI (1980), BEGADANG II (1981), SAHABAT (1982), hingga INDONESIA (1983), yang semuanya diproduksi YUKAWI CORPORATION. Perusahaan rekaman ini kemudian menjadi SONETA RECORDS, milik Rhoma.
Dengan keberhasilan Rhoma itu, tidak salah apa yang dikatakan Marshall McLuhan dalam Understanding Media-Extensions of Man, "The hybrid or the meeting of two media is a moment of truth and revelation from which new form is born". (Hibrida atau pertemuan dua media adalah masa yang menentukan dan menginspirasi lahirnya sebuah bentuk baru).
LANGKAH Rhoma semakin tegap. Film-filmnya OMA IRAMA PENASARAN (1976), GITAR TUA OMA IRAMA (1977), DARAH MUDA (1977), RHOMA IRAMA BERKELANA I (1978), RHOMA IRAMA BERKELANA II (1978), BEGADANG (1978), RAJA DANGDUT (1978), CINTA SEGITIGA (1979), CAMELIA (1979), PERJUANGAN DAN DOA (1980), MELODY CINTA RHOMA IRAMA (1980), BADAI DIAWAL BAHAGIA (1981), SATRIA BERGITAR (1984), CINTA KEMBAR (1984), PENGABDIAN (1985), KEMILAU CINTA DI LANGIT JINGGA (1985), MENGGAPAI MATAHARI I (1986), MENGGAPAI MATAHARI II (1986), NADA-NADA RINDU (1987), BUNGA DESA (1988), JAKASWARA (1990), NADA DAN DAKWAH (1991), serta TAKBIR BIRU (1994) diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis.
Dalam Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng UCOK HARAHAP, yang bersama grup rock AKA-nya pernah bertarung dengan Soneta di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.
"Secara terus terang saya mau katakan bahwa Oma Irama adalah seorang seniman musik yang menarik. Coba saja kita perhatikan, bagaimana dia membangun musik dangdut dengan warna lain daripada yang lain. Dia berani melangkah untuk mencari variasi dan pembaruan dalam musiknya," kata Ucok ketika saling membagi nasi tumpeng dengan Rhoma dalam acara selamatan dimulainya produksi film itu akhir November 1977.
Film-filmnya Rhoma tidak salah jika dikatakan sebagai film musik rock bernapas Islam yang pertama di dunia. Terutama Perjuangan dan Doa, yang mengisahkan perjalanan Rhoma dan Orkes Melayu Sonetanya ke berbagai daerah sambil berdakwah. Tujuh lagu yang dalam film ini semakin meyakinkan Rhoma bahwa dengan dangdut-rocknya, dia juga bisa menjalankan misi agama.
Meskipun, lagi-lagi, Rhoma diterpa berbagai komentar yang tidak setuju dengan langkahnya, seperti yang diberitakan harian TERBIT, 16 Juli 1980: "Yang berpendapat misi dakwah melalui musik dan film seperti yang telah ditampilkan H Rhoma Irama sebagai tindakan yang tidak terpuji, karena masyarakat menilai Rhoma lebih condong pada komersialisme disamping penampilan Rhoma tidak ubahnya seperti Elvis Presley, seniman penyanyi barat".
Elvis memang menjadi King of Rock ’n Roll dan Rhoma yang merespons musik rock dengan baik menjadi Raja Dangdut dengan penyanyi-penyanyi dangdut lain sebagai hulubalangnya.
BEGADANG BOLEH SAJA, ASAL ADA.......
Rhoma irama lahir tahun 1947. Tahun 1968 menyanyi untuk Om Purnama dan bertemu Elvy Sukaesih. Tahun 1969 diajak rekaman oleh Om Chandralela, yang membuatnya menanjak. Tahun 1976 pecah dari Elvy.
Nyonya Tuti Burda senang musik. Kalau tak ada pertunjukan, yang selalu hampir tak dilewatkannya, di rumahnya di Tasikmalaya ia tak pernah absen menikmati musik dari radio. Suaminya, seorang perwira pertama TNI AD, lebih suka sandiwara. Bahkan ia memimpin grup kesenian Sunda Lutung Kasarung. Tapi juga suka lagu Cianjuran. Suatu malam, 9 tahun yang lalu, mereka nonton rombongan sandiwara Irama Baru. Pulangnya perut sang nyonya bergejolak. Maklum sudah 9 bulan mengandung. Beberapa jam kemudian lahirlah anaknya yang kedua, lelaki. Mereka sepakat memberinya nama Irama, seperti nama grup yang barusan ditonton. Sejak kecil mendapat julukan Oma, umur 17 tahun anak itu hampir saja meninggal karena sakit perut. Sekarang ia bernama Oma Irama. Siapa yang belum mendengar nama biduan "dangdut" yang terkenal itu?
Dari seluruh anak-anak nyonya Tuti Burda (yang suaminya kini sudah almarhum tapi ke-12 anaknya masih utuh), hanya 2 orang yang mewarisi 'darah seni' orang tuanya. Selain Oma Irama adalah Anna Bahfen, anak ke-5, biduanita Orkes Melayu Chandralela. Awal perjalanan karir Oma sendiri dimulai dari iseng-iseng nyanyi di hawah pohon sawo di kampung Bukitduri atau di tepi jalan Tebet Utara. Suaranya lantang. Iringannya cuma gitar dan tepukan tangan atau pukulan bangku kawan-kawannya. Beberapa waktu kemudian ia menyanyi untuk sebuah orkes melayu di kampungnya. Tapi di luar ia bergabung dengan band anak-anak muda Tebet seperti Tornado atau Varia Irama Melody. Itu ketika ia masih duduk di bangku SMP dan kemudian SMA, 1960.
Justru karena begitu getol nyanyi itulah, sekolahnya agak berantakan. Konon juga karena faktor ekonomi yang tak mengizinkan, di SLA ia pernah pindah sekolah sampai 4 kali: negeri, Kristen, bersubsidi. Kuliahnya di Fakultas Sospol Untag pun hanya sempat diikutinya selama setahun. Ia memang pernah punya cita-cita lain. Bahkan almarhum ayahnya dulu pernah menginginkan Oma menjadi dokter. Kini ia sukses sebagai penyanyi. Pernah tertarik lagu-lagu Beatles, ia masuk band The Gay Hand. Ketika itu bahkan ia merasa mampu menirukan gaya penyanyi-penyanyi Barat yang terkenal seperti Paul Anka, Tom Jones atau Andy Williams.
Namun kawan-kawannya lebih sering mendorong-dorongnya membawakan lagu-lagu India atau Melayu. Tahun 1968 ia menyanyi untuk Om Purnama. Di sinilah ia bertemu dengan Elvy Sukaesih, pasangan duetnya yang awet sampai tahun kemarin. Melihat kemampuan itu, tahun berikutnya Hussein Bawafie pemimpin OM Chandralela, mengajaknya rekaman. Ia menyanyikan lagu Ingkar Janji. Dua tahun kemudian nasib Oma Irama mulai berubah. Ketika rekamannya Bina Ria (bersama OM Purnama, 1971) berhasil menduduki tempat pertama dalam deretan lagu-lagu Melayu, sedikit demi sedikit (tapi pasti) namanya mulai menanjak naik. "Itulah sebabnya kemudian saya berketetapan hati membawakan lagu-lagu Melayu", ujarnya 2 pekan lewat di rumahnya kawasan Kebonbaru Tebet Timur.
Mengaku "rumah ini hadiah dari PT Yukawi", tempat tinggal Oma Irama ini tak begitu jauh dari perumahan pelawak-pelawak Eddy Sud dan Ateng, penyanyi Muchsin-Titiek Sandhora dan pembawa acara Krisbiantoro. Bangunan mewah yang berdiri di atas tanah tak kurang dari 400 meter peregi itu kabarnya berharga sekitar Rp 27 juta. Kecuali kolam yang indah, ada pula ruangan khusus tempat latihan OM Soneta. Juga sebuah garasi yang dihuni sebuah VW kodok biru telur bertuliskan "Dunk Doel" di kaca depannya. Selain peralatan musik lengkap (termasuk piano yang bagus), perabotan rumah tangganya tak bisa disebut murah. Nilainya tak kurang dari Rp 5 juta. Rumah itu belum 3 bulan ditinggali, baru diisi seminggu setelah Oma kembali dari naik haji. Ia berangkat ke Tanah Suci bersama ibunya, 6 Nopember 1975 yang lalu. Pulangnya merasa tak perlu menambah nama seperti halnya kebiasaan haji-haji yang lain (kecuali titel H di depan namanya). "Soalnya nama saya sudah terlanjur cukup dikenal orang", katanya.
Nyonya Oma, sementara itu sibuk mengerjakan disain dan pelaksanaan pembangunan rumahnya. "Saya tak puas dengan gambar yang diajukan pemborong. Maka saya bikin gambar sendiri, pekerjanya dicarikan oleh kakak Bung Oma", tutur nyonya Oma yang bernama Veronica. Sebegitu jauh, bangunan itu belul juga memuaskan pemiliknya. Bagian atap yang berlantai beton yang selama ini sebagai tempat jemuran, kelak akan disempurnakan menjadi ruangan tingkat dua. Mencari rumah ini tak begitu sulit. Naik becak dari Pasar Tebet atau dari jembatan Kampung Melayu, tak perlu repot menyebut blok atau nomor rumah (yang memang belum ada). Cukup hanya bilang "antarkan ke rumah Oma Irama" -- maka becak akan meluncur langsung ke sebuah rumah mewah dengan marmer abu-abu di kawasan Kebonbaru, di mana kali Caiwung mengalir persis di depannya.
Cincin-Cincin Bagus
Sebagai penyanyi, perawakan Oma memang pop. Agak kekar, tak terlalu jangkung, tak terlalu pendek. Sebelum naik haji dulu rambutnya gondrong sampai agak di bawah bahu. Sekarang rambutnya agak rapihan sedikit meski masih cukup tebal. Cambangnya saja yang masih dipertahankan. Tak ketinggalan dengan mode anak-anak muda sekarang, celananya pun tentu saja cutbrai, sepatu hak tinggi, hem yang berumbai-rumbai di bagian pergelangan tangan dengan dua kancing terbuka bagian atas.
Lehernya berhiaskan kalung, beberapa jari tangannya berlilitkan cincin-cincin bagus. Gelang akar bahar di pergelangan tangan kanan, arloji berantai emas di tangan kiri. Acap tampil begitu (kadang juga di rumah tapi setelah pulang dari Mekah, pernah muncul dengan jubah putih, sorban tersampir di pundak dan tasbih terkalung di leher. Dan dengan beraninya ia nyanyi dengan pakaian "wak haji" begitu di panggung....
Sebagai suami dan ayah (anaknya baru satu, perempuan, bernama Debby Veramasari Irama, 3 tahun) ternyata Oma pun cukup telaten. Sibuk memang, tapi ada saja waktu buat keluarga. Hari-hari libur selalu ia pergunakan untuk rekreasi bersama anak-isteri. Misalnya berenang di Bina Ria, nonton atau hanya jalan-alan menghirup udara segar. Menghadapi suguhan masakan isterinya, ia hampir tak pernah menolak. Biasanya lebih suka daun-daunan segar untuk lalap. Tapi terutama sekali ikan bandeng bakar, apalagi dabu-dabu (sambal Menado). Isterinya memang keturunan Menado campur Belanda, anak sulung dari 9 putera-puteri Adrian Tembuleng dan Flora van Bruijn, keluarga yang juga doyan musik. Adapun Oma, berayah asal Bandung, beribukan asal Banten. Veronica sendiri meski cuma berpendidikan SMP kelas 3 (dan kini 23 tahun) toh sudah pintar main piano, setelah 4 tahun belajar pada Lusy Assaat, anak Mr. Assaat, bekas Pd. Presiden waktu Sukarno-Hatta ditangkap Belanda. Dari isterinya inilah Oma belajar memetik toets-toets instrumen besar itu (dan belajar not balok dari seorang rekan bernama Mansur).
Kisah cinta Oma-Veronica agak menarik. Suatu ketika, 6 tahun lalu, kebetulan mereka main di Lampung. Oma nyanyi untuk band Junior, Veronica nyanyi dan main organ untuk band The Beach Girls pimpinan Annie Kusuma. "Selain di panggung, kami juga ketemu di hotel dan ngobrol-ngobrol. Sebelumnya tak saling kenal", tutur Veronica. Tak sampai setahun kemudian, mereka pun menikah dan Veronica mengikuti agama suaminya, Islam. Tentang ini ayah Veronica, pensiunan PN Nurani Farma itu bercerita: "Keluarga Tembuleng itu sebenarnya 60% Islam, 40% Katolik. Ibu saya, yaitu nenek Veronica, malah pernah berpesan agar anak-anak saya diizinkan menikah dengan siapa saja.
Jangan ditentukan mesti begini-begitu. Soal agama, yang mana pun toh sama baiknya. Dalam hal agama Katolik, kalau warganya mau nikah dengan orang berlainan agama mesti ada dispensasi dari gereja. Untuk Veronica saya tidak memintakan itu". Tapi benar bahwa ketika melamar dulu Oma memang menghadapi sedikit kesulitan. "Bagaimana mungkin, sebab ketika itu Oma sudah beristeri", tambah Adrian Tembuleng yang sebelum 1966 menjadi care taker pimpinan Kimia Farma Maka Oma pun pulang dengan tangan hampa. Belakangan ibu Oma yang maju, katanya: "Bagaimana kalau Oma sudah cerai?" Maka tak lama kemudian Oma-Veronica pun menghadap penghulu.
Veronica yang cantik, bertubuh subur, berkulit putih bersih itu, tampaknya berusaha betul menyesuaikan diri sebagai seorang muslimah. Ia selalu mengenakan rok panjang, seperti yang juga biasa dipakai oleh gadis-gadis PGA atau madrasah. Tapi tentu saja dari bahan yang jauh lebih bagus dan mahal. Sesaat setiap Oma mau pergi atau pulang, ia selalu mencium tangan suaminya. Begitu pula kalau Veronica kebetulan ada acara keluar, berbelanja misalnya. Dan Oma pun mengulurkan tangan kanannya dengan lembut. Kerukunan yang begitu ideal, ternyata tak mampu menimbulkan rasa cemburu pada Veronica manakala suaminya dipuja-puja oleh para fans yang tentunya tidak hanya terdiri dari cowok-cowok sja. "Saya bisa memaklumi peran seorang penggemar yang memuja penyanyi terkenal. Soal cemburu harus diletakkan secara wajar.
Biasa toh, kalau ada fans yang begitu -- asalkan mereka tahu batas saja", ujar Veronica. Tapi biar pun keduanya sama-sama artis, toh tak terlintas sedikit pun impian bahwa kelak anaknya akan menjadi penyanyi pula. "Biarlah saya saja yang jadi tukang ngamen. Tapi anak saya benar-benar jangan sampai jadi penyanyi kata Oma. Meski begitu, ia merasa tak mungkin nyanyi terus sampai tua. "Itu kan hanya impian. Saya sendiri tak tahu, setelah ini mau jadi apa. Soal nanti, itu terserah Tuhan. Toh Tuhan itu maha pengasih", tambahnya.
Pecah Dari Elvy
Peranan Veronica bagi Oma memang cukup penting. Meskipun tidak selamanya bisa mempengaruhi ciptaan Oma, toh Oma sendiri setelah selesai menulis lagu dan syair, tak jarang minta pertimbangan isterinya yang sampai sekarang masih mencintai dunia musik. Sangat sering mencipta lagu sampai larut malam, Veronica selalu melayani atau menyediakan apa saja yang diperlukan suaminya: alat perekam, kaset, buku, makanan, minuman. Semuanya siap dan lengkap di meja. "Dengan begitu ia tak perlu berteriak minta ini-itu, bisa konsentrasi sepenuhnya", tutur Veronica. Kalau sudah mengarang lagu, ia jadi angker di rumah "jangan coba-coba mendekat" kata isterinya. Menurut Oma, sudah 300 biji lagu ciptaannya. Semuanya berjenis dangdut, temanya diangkat dari kehidupan seharl-hari. "Kalau-tadi malam saya mendapat ilham, paginya saya udah di piano. Atau, pagi dapat ilham, malamnya bikin aransemen", lanjut Oma. Sebulan rata-rata bisa mencipta 4 sampai 5 lagu, tapi adakalanya cuma sebiji saja. Yang paling populer adalah Begadang, tentang lagu ini ada cerita sedikit. Suatu hari mertuanya bilang: "Kalau mencipta lagu jangan terlalu memforsir diri. Kalau bergadang terus begitu, nanti kamu sakit". Maka Oma pun lantas menulis lirik: ...Begadang boleh saja Asal ada gunanya; Kalau terlalu banyak begadang ...."Begadang boleh saja, asal ada perlunya. Kalau terlalu banyak begadang, muka pucat karena darah berkurang. Darilah itu sayangi badan, jangan begadang setiap malam....".
Ia memang penyanyi yang cepat sukses. Dan sukses pula mengantongi uang. Oleh salah sebuah perusahaan rekarnan ia pernah dibayar Rp 250 ribu untuk 4 lagu. Dulu pembayarannya berdasarkan sistem royalties (prosentase dari hasil penjualan). Sekarang kontrak, honorarium dihitung per lagu -- dan perusahaan PH yang bersangkutan bisa mencetak sebanyak-banyaknya. Kalau Oma main untuk sebuah show, tarifnya begini: 30% dari hasil kotor untuk pertunjukan yang bersifat komersiil, tapi 50% (dari yang 30% itu) kalau untuk amal. Itu bersih untuk Oma dan rombongan. Transpor dan akomodasi -- tanggungan panitia.
Dalam hal ini Oma mengaku "uang tak mulak perlu bagi kehidupan saya lebih senang menguasai uang dari pada dikuasai uang". Meskipun begitu, toh pada akhirnya timbul juga rame-rame. Dan pangkal persoalannya tak lain tak bukan soal fulus juga. Sementara sekarang lebih intim dengan perusahaan rekaman Yukawi, ia terlibat konflik-kontrak dengan perusahaan sejenis yang lain, yang sebelumnya pernah merekamnya, Remaco. Maka para fans Oma sekarang boleh berdendang: begadang boleh saja, asal ada uangnya.....
Membuntuti Begadang, populer pulalah lagu Rupiah dan Penasaran. Juga lagu-lagu lain yang ia bawakan secara duet bersama Elvy Sukaesih. Tapi juga gara-gara rupiah pula, sekarang keduanya erpisah. Oma kontrak dengan Yukawi, Elvy bergandengan dengan Remaco. "Sebenarnya ketidak-cocokan itu sudah terasa sejak 1974. Tapi mengingat sumpah tetap berduet, saya masih berusaha berbaik-baik", kata Elvy. Ketika Oma meneken kontrak dengan Yukawi tanpa konsultasi dengan pasangannya, maka Elvy pun yang dulu memang penyanyi solo kian merasa perlunya teken kontrak sendiri, langsung tidak melalui Oma. Ini semua terjadi justru pada saat Oma lagi menunaikan ibadah haji. Dan konon memang ada fihak luaran yang sengaja memecah mereka -- seperti halnya perpecanan grup Mercy's -- tentu saja untuk mencari keuntungan komersiil. Sepulang dari Mekah, Oma pun bilang, "sudah tak ada gunanya lagi berduet dengan dia".
Untunglah, sementara Elvy kabarnya ingin membentuk grup Melayu sendiri bersama Muchsin, penyanyi dan rekan lamanya (kabarnya sudah bergabung dengan OM Kelana) tak lama kemudian Haji Dangdut Oma Irama pun mendapat ganti. Pertengahan Januari lalu OM Soneta main untuk sebuah pesta. Kebetulan di sana hadir pula Rita Sugiarto, 17 tahun. Lebih terkenal dengan nama Rita S, bekas pemenang beberapa kali dalam kejuaraan nyanyi di Semarang ini nama aslinya Derta Kismiyarti. Waktu masih duduk di bangku SD malah pernah jadi juara pertama lomba baca Al-Qur'an sekodya Semarang. Di tempat pesta itulah ia nyumbang nyanyi.
Dan sejak itulah ia berkenalan dengan OM Soneta. Hijrah ke Jakarta sejak pertengahan 1975, pertengahan Januari yang lalu ia sudah muncul bersama Oma dalam sebuah show di Istora Senayan. Mengenakan celana panjang warna hijau berkembang,-- sepatu tinggi, baju ketat, bibir merah, goyang pinggulnya tak kalah dengan Elvy. Dan malam itu Oma elah mampu menyelamatkan pertunjukan dari cemoohan publik setelah grup-grup lainnya, termasuk Koes Plus dan penyanyi Melky Goeslaw yang juara Pop Singer Nasional itu gagal.
Belajar Bahasa Arab
Kalau tak ada show, jadwal latihan OM Soneta rata-rata 3 kali seminggu di rumah Oma. Meski jreng-jrengnya terdengar sampai di luar, para tetangga tampaknya maklum. Dan tetangga Oma memang tak begitu banyak. Dulu malah hanya berlatih di studio tempat rekaman. Honorarium dibagi rata dengan para pemain orkes. Tapi begitu selesai rekaman, mereka bubar. Baru ketika karir Oma menanjak, Oma membeli peralatan musik sendiri lalu mengumpulkan kembali rekan-rekannya. Oma sendiri belum puas dengan karirnya sekarang. "Saya ingin Soneta menjadi grup musik teladan", katanya. Maksudnya, jangan sampai ketularan ganja. Dulu memang ada anggotanya yang suka fly, tapi sekarang sedikit demi sedikit sudah ada perubahan. Dalam Soneta ada aturan keras: dilarang menjamah minuman keras, ganja, narkotik, berbuat mesum. Dan harus sembahyang. Seminggu sekali keluarga Soneta menyelenggarakan pengajian di rumah Oma, seorang ustadz dipanggil memberikan ceramah agama. Oma sendiri setelah bertitel haji, secara privat mulai belajar bahasa Arab. Dalam setap penampilan di panggung pun Oma selalu mengawali acaranya dengan: "Di sini Oma Irama bersama Orkes Melayu Soneta. Assalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh....".
Selama ini ia mengaku bermaksud berda'wah lewat lagu-lagunya -- pernyataan yang sebelumnya pernah diucapkan oleh Trimbo. Di lain fihak Oma menyesalkan sebagian orang Islam yang ragu-ragu terhadap musik. Padahal Islam toh tidak melarang, apalagi untuk maksud-maksud da'wah. Guru ngaji Oma sendiri pernah berkata: "Pada suatu hari Nabi Muhammad bertandang ke rumah sahabatnya, Abubakar. Di teras rumah seorang kawan Aisyah, anak Abubakar, asyik bemain musik. Melihat Nabi datan, Abubakar menyuruh anak itu berhenti nyanyi-nyanyi. Tapi apa yang terjadi? 'Biarkan saja musik itu, untuk kegembiraan' kata Nabi". Yang dimaksud dengan da'wah oleh Oma, tidak semata harus berbau agama. Mengajak atau memperingatkan hal-hal yang bersifat baik, sudah termasuk da'wah.
Bahwa lagu-lagu Melayu dianggap sebagai konsumen orang berselera kampungan, Oma tidak menyangkal. "Soalnya pemain orkes Melayu umumnya tidak terpelajar, instrumen mereka tidak sementereng band dan syairnya pun rata-rata cengeng, lunglai, dari itu ke itu saja", katanya. Tapi bersama Oma, lagu 'kampungan' itu kini sudah menembus kawasan 'gedongan', termasuk rumah paman Oma di Kebayoran Baru. "Dulu oom saya anti Melayu. Jangankan membeli kaset atau PHnya, mendengar saja tak mau, biar itu suara kemenakannya sendiri", dan Oma tertawa senang.
Katanya, dulu banyak penyanyi-penyanyi kita menjiplak lagu-lagu India. Kemudian berusaha mengaransirnya, sedapat mungkin berwarna Melayu. Tampaknya yang benar-benar asli (Melayu Deli) cuma lagu-lagu S. Effendy atau koleksi Orkes adio Medan tahun 50-an. "Sekarang orang menjuluki lagu-lagu saya sebagai Melayu dangdut. Saya tak tersinggung, malah senang", kata Oma. "Dan saya kira cukup memenuhi selera. Tentu saja jangan dibandingkan dengan musik klasik. Itu kan jauh panggang dari api".
Tempo Edisi 52/Maret 1976
RHOMA IRAMA
RHOMA Irama, dalam konteks masyarakat Indonesia, mungkin bukanlah sosok seorang penyanyi, melainkan sebuah fenomena sosial-budaya dan politik. Tentu saja, sosok semacam itu tak tumbuh seketika. Di awal 1970-an, ketika remaja, saya menyaksikan duetnya dengan Elvi Sukaesih. Tapi bukan di gedung besar, melainkan di sebuah dusun di Kelurahan Cilandak, Jakarta, yang kini persis di samping Institut Ilmu Pengetahuan (IIP). Oma –demikian ia disebut sebelumnya –kala itu tak lebih dari seorang penyanyi. Tapi kini, seperti yang kita lihat, ia telah menjadi “figur besar” yang melintasi dinding musik. Bahkan mendorong Mbak Tutut dan Bung Harmoko menariknya sebagai calon wakil rakyat dari Golkar.
Apa yang membuat Rhoma menjadi fenomena? Remy Silado, pengamat musik yang hingga kini liat bertahan, memberi penjelasan dengan nada kritis. Rhoma, menurutnya, bukanlah pedangdut asli. Ia hanya seorang musikus yang mencangkokkan aliran musik cadas (rock) ke dalam dangdut, dan dengan itu Rhoma berhasil memantapkan diri sebagai avant garde dunia dangdut. Tampaknya, dengan formulasi ini, Remy ingin mengatakan bahwa Rhoma tak berhak menyandang gelar “kepangeranan” dunia goyang itu karena persoalan orisionalitas aliran musik. Walau Remy mungkin benar-terutama karena Rhoma lebih dulu menggeluti musik pop, sebelum dangdut-saya lebih melihat persoalan psiko-budaya yang memberi landasan kemunculan tokoh ini.
Masalahnya mungkin terletak pada cultural schism (perpecahan budaya) antara penganut musik dangdut dan pop, seperti yang saya rasakan di masa remaja, di pinggiran selatan Jakarta. Konstituen musik pertama, secara budaya, terkategorikan “rendah” dan tak memiliki selera budaya kota. Mereka, pada umumnya, tinggal di desa-desa dengan tingkat pendidikan yang tak terlalu tinggi. Pendukung musik kedua sebaliknya. Berselera tinggi, hidup di kawasan perkotaan, dan di atas semuanya berpendidikan relatif tinggi. Maka, sekali lagi, seperti yang saya saksikan, murid sekolah umum yang telah mencapai pendidikan tingkat menengah ka atas di kawasan Pasar Minggu pada 1970-an cenderung mencemooh dangdut. Dunia pendidikan, dalam konteks ini, adalah alat emansipasi intelektual. Tapi dalam konteks kultural, pendidikan itu sendiri telah menciptakan watershed, yang memisahkan struktur selera budaya lampau dengan kekinian. Di sini walau secara geografis tetap berada di tempat yang sama, seseorang yang telah terdidik diharuskan melakukan migrasi kultural.
Seandainya proses pendidikan dan migrasi kultural ini berlangsung secara masif, mungkin musik dangdut akan kehilangan basis konstituennya. Tapi faktor struktural memberikan hasil yang sebaliknya. Elitisme pembangunan Orde Baru di masa awal tak berhasil mentransformasikan lapisan masyarakat secara sosial –ekonomis dengan sempurna. Bahkan sebaliknya. Konsentrasi derap pembangunan (hanya) di kota besar, terutama Jakarta, telah menciptakan wilayah-wilayah itu menjadi “kantong uang”. Tentu saja, terkepung oleh desa miskin di sekitarnya, penciptaan “kantong-kantong” ini telah menjadi magnet yang menyedot penduduk desa berhamburan ke kota besar. Maka. dalam konteks demografis dan kultural, yang terjadi dari elitisme pembangunan itu adalah arus migrasi fisikal masyarakat desa, bukan migrasi kultural dan intelektual.
Apa konteksnya Rhoma dan musik dangdutnya? Kontinuitas migrasi fisikal itu telah makin memperluas basis konstituen musik dangdut. Walau telah tinggal di wilayah “berbeton” –ketika sawah becek dan berlumpur makin jauh- kaum imigran asal desa ini tak menemukan habitat selera budaya pada musik kota, kecuali dangdut, yang mengundang goyang dan syair-syair sederhananya. Dalam kata lain, hanya dengan dangdut mereka yang tercerabut dari akar-akar desa itu menemukan secara lintas etnik. Dangdut, dengan demikian, telah berfungsi sebagai pengayom kultural dari proses pengasingan fisikal.
Pada struktur semacam inilah Rhoma tegak. Di tengah-tengah konstituen yang makin meluas, dan dalam posisi budaya dangdut sebagai underdog, Rhoma tampil sebagai pembela-apa yang di katakan sendiri dalam sebuah lagunya-musik Melayu, musik yang mengayomi kaum imigran itu. Sebuah lagunya, Begadang, telah melambungkan Rhoma sebagai menjadi raja dangdut. Tapi di atas segala-galanya, lagu itu sendiri merefleksikan gaya hidup kaum imigran desa. Terlempar di perkotaan tanpa tempat tinggal permanen, mereka terpaksa melewati malam tanpa tertidur.
Tak mampu mendanai hiburan untuk diri sendiri, mereka-seperti terlihat pada film Laila Majenun-menemukan tempat artikulasi diri pada goyangan lagu Begadang, tanpa harus membayar.
Maka, Rhoma telah menjadi simbol “perlawanan” kultural bagi rakyat kecil yang tercemooh dan terpinggirkan. Dengan konstituen yang makin luas inilah Rhoma menjadi figur yang pengaruhnya melintasi batas-batas musik. Ini terjadi terutama ketika ia mulai memasukkan unsur-unsur dakwah dalam lagunya transformasi lebih lanjut karya-karyanya. Pada titik ini, ia tak lagi berhadapan dengan massa jelata yang haus pengayoman budaya, melainkan juga bertemu dengan komunitas kaum Muslimin yang jauh lebih besar. Dari sinilah kita memahami Rhoma sebagai fenomena sosial-budaya dan politik. Melalui kreasi seni dengan konstituennya yang begitu tipikal, ia melompat menjadi “tokoh politik”.
Maka tidaklah mengherankan, jika ia ditarik kian kemari oleh partai-partai politik tertentu untuk tujuan-tujuan politis. Keterlibatannya ke dalam Golkar dewasa ini adalah konsekuensi lebih lanjut dari proses perjalanan karier budaya anak Tasikmalaya itu. Tapi dalam posisinya yang “lain” kali ini, kita wajib bertanya. Akankah Rhoma akan kembali mengenang massa kecil imigran desa di kota-kota besar yang telah menjadi basis konstituen bagi “kebesarannya” dewasa ini?
Bersumber: http://akulahdie.blogspot.com/2010/07/rhoma-irama-si-raja-dangdut.html