Minggu, 24 April 2011

kenangan didalam Bemo dari OM. PANCARAN MUDA


Group dari Om. Pancaran Muda dengan penyanyi Oma Irama, Titing Yenny, Najo Maimunah

OM. EL-SITARA penyanyi RHOMA IRAMA&ELLYA KHADAM

Album yang terbaik dari Rhoma Irama dan Ellya Khadam dengan Om. El-Sitara
1. In Dan Dip – Elyya K & Oma Irama
2. Si Tua Keladi – Elyya Khadam
3. Peristiwa Malam PertamaOma Irama
4. Peristiwa Malam Pertama – Ellya Khadam
5. Surat Palsu – Elyya K & Oma Irama
6. Bertemu Kembali – Ellya Khadam
7. Uang Belanja – Ellya K & Oma Irama
8. Telah mempunyai – Ellya Khadam
9. Masa Bodoh – Ellya & Oma Irama
10. Auku Tak Percaya – Ellya Khadam
11. Bim SalabaimOma Orama
12. Baru Aku Tahu – Ellya Khadam
DONWLOAD disini aja.....dibawah Coy
Download disini

Rabu, 06 April 2011

Rhoma Irama album tukang ramal bersama OM. El Sitara


1.    Tukang Ramal – Oma I & Ellya Khadam
2.    Malam Pengantin – Ellya Khadam
3.    Suratmu – Oma Irama
4.    Percayalah – Oma I & Ellya Khadam
5.    Sungguh Kejam – Ellya Khadam
6.    Sepatu Baru – Noor Farida
7.    Menang Lomba Joget – Oma I & Ellya Khadam
8.    Bunga dan Doa – Oma Irama
9.    Kebimbangan – Ellya Khadam
10.  Hanya Satu Kupinta – Oma I & Ellya Khadam
11.  Deritaku – Ellya Khadam
12.  Malam Gembira – Ellya Khadam
BERSUMBER: http://dendang-melayu.blogspot.com/2010_11_02_archive.html

Lagu Pertama Rhoma Irama Ingkar Janji pada tahun 1968


Foto minaba-info.blogsp
Setelah menyanyikan lagu Ingkar Janji OM Chandraleka bersama pimpinan Hussein Bawafie, Tahun 1968 Oma bergabung dengan Orkes Melayu Purnama, pimpinan Awab Abdullah. Belum puas, ia pun pindah ke orkes melayu Pancaran Muda pimpinan Zakaria yang merekam suaranya lewat lagu Di Dalam Bemo karya Zakaria berduet dengan Titing Yani. 
Dan sampai awal dekade 1970-an namanya masih tetap belum dikenal masyarakat. "Ia masih berada di bawah bayang-bayang Muchsin Alatas," kenang Zakaria.
Namun nasib Oma Irama mulai berubah ketika rekamannya Bina Ria (bersama OM Purnama, 1971) berhasil menduduki tempat pertama dalam deretan lagu-lagu Melayu.
Sedikit demi sedikit (tapi pasti) namanya mulai menanjak naik. "Itulah sebabnya kemudian saya berketetapan hati membawakan lagu-lagu Melayu", ujar Oma
Namun begitu setelah terjun ke dunia musik melayu, Rhoma akhirnya ikut terbawa arus. Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma pun diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.
Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi, sampai Melati di Musim Kemarau.
Berikutnya walau termasuk “anak baru” , duet Rhoma-Inneke sukses menjadi pusat perhatian diantara duet-duet lainnya seperti duet Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani-Benyamin Sueb. Bahkan munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat “menggoyang singgasana” kepopuleran Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.
Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakannya yang khas, yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13 Oktober 1970. 
foto Soneta Fans Club Facebook
Keberhasilannya berduet dengan Inneke, membuat Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan hasilnya pun duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi juara.
Hal ini menunjukkan kecintaan Rhoma terhadap musik pop tetap ada. Dan memang tidak sia-sia, tahun 1972 Rhoma mewakili vestifal pop Asia Tenggara di Singapura, Luar biasa memang, Rhoma juara di festival itu.
BERSUMBER DARI: http://biografirhoma.blogspot.com/2010/12/gonta-ganti-orkes.html

RHOMA IRAMA bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.

Musik pop dan rock ternyata adalah langkah pertama RHOMA IRAMA sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan Benny Mucharam, abang kandungnya, bahwa OMA (sebelum menjadi RHOMA = RADEN HAJI OMA) sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967. Meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes Melayu.
Rhoma yang pandai bermain gitar dan bersuara merdu sangat disukai kawan-kawannya jika dia menyanyi di bawah pohon pinggir Jalan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Di samping menjadi penyanyi Orkes Melayu Chandraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.

Bersama band-band itu dia membawakan lagu-lagu pop Barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu Diana atau Put Your Head on My Shoulder, Andy Williams (Butterfly, Moon River), serta Tom Jones (Green Green Grass of Home, Delilah).

Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya dia membentuk Band Gayhand. Musik kelihatannya sudah menjadi pilihannya hingga kuliah di Universitas 17 Agustus tidak diteruskannya. Musik rock n’ roll yang melanda Indonesia waktu itu membuat pemuda kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, ini terpesona hingga dalam hatinya dia bertekad, "Elvis bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa".

Namun, begitu berada di dalam industri musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru cara menyanyi Ida Royani-Benyamin S atau Titiek Shandora dan Muchsin yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaja dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.

Diiringi BAND ZAENAL COMBO pimpinan Zaenal Arifin, Oma-Inneke direkam dalam sejumlah lagu, seperti Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu Kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat Dekat, Anaknja Lima, Si Oteh, Lontjeng Berbunji, Melati di Musim Kemarau, dan Tjinta Buta.

Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknja Lima, dibawakan duet ini, munculnya pasangan Oma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Titiek Shandora dan Muchsin. Kebiasaan Rhoma meniru suara sejumlah penyanyi Barat membuatnya dengan mudah meniru gaya menyanyi Muchsin dan Benyamin.

Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, Zakaria kemudian menyarankan Oma juga berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura tahun 1971. Oma-Wiwiek berhasil menjadi juara.

Penyanyi-penyanyi duet memang sedang menjadi mode industri musik awal tahun 1970-an. Dalam acara Panggung Gembira Hari Radio Ke-26 di halaman Gedung RRI, Medan Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Oma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi duet lainnya, seperti Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez, dan Ida Royani-Benyamin S.

Duet Oma-Inneke juga diiringi Band Galaxy pimpinan Jopie Item dalam rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Oma menyanyi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskan Oma setelah mendirikan Soneta, misalnya, dalam lagu Mari Gembira meniru seruan yang biasa dilakukan penyanyi rock di luar syair lagu, "Ach … uh… wuuuuuaaaaw... mari kawan kita gembira, jangan pikir hati yang duka, yang membawa bencana bila kau pikirkan juga, baik dengarkan aku bernyanyi demi mengobati rasa hati…".

PERGAULAN Rhoma dengan pemusik pop dan rock juga yang mempertemukannya dengan pemimpin band perempuan Beach Girls, VERONICA AGUSTINA TIMBULENG. Duet Rhoma dan Veronica yang dimulai tahun 1972 menghasilkan tiga anak, yaitu DEBBIE VERAMASARI (33), FIKRI ZULFIKAR (29), dan ROMY SYAHRIAL (28).

Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie, mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli dan Yoan dengan Si Kodok pada tahun 1976.
Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta, Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dan menyuntikkan musik rock dalam album dangdutnya yang pertama berjudul BEGADANG, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulutkan pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis.

Ujung-ujungnya diadakan diskusi "Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut" di Gedung Merdeka Bandung akhir Juni 1976 dengan Maman S dari majalah AKTUIL sebagai penyelenggara dan menghadirkan pembicara Dr Sudjoko dari ITB, Remy Sylado, Benny Subarja, dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma Irama yang tidak hadir. Achmad Albar dan Harry Roesli yang diundang juga tidak kelihatan.

Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado.
Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, 22 Desember 1977, dengan maksud melihat yang mana lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan burung dara putih sebagai tanda perdamaian.

Bercampurnya musik rock dengan berbagai jenis musik sebenarnya hal biasa, sebagaimana terjadi dengan jazz, musik klasik, atau bahkan lagu-lagu rohani Kristiani.

Menurut Krishna Sen dan Davil T Hill dalam bukunya Media, Budaya dan Politik di Indonesia yang terbit tahun 2000, "Sesungguhnya, popularitasnya yang bertahan sebagian disebabkan karena karakter hibridnya (mudah dicangkokkan ke jenis musik apa pun).

Dengan sifat ini dangdut terus-menerus menggabungkan dan melakukan sintesa dengan genre musik lain, termasuk yang mungkin menjadi pesaing di berbagai golongan pasar Indonesia. Banyak bentuk musik populer daerah telah menelurkan berbagai varian dangdut seperti ’dangdut Sunda’ dan ’dangdut Jawa’. Demikian juga genre musik impor. Pada tahun 1980-an ada ’disko dangdut’. Tahun 1996, album Remix Dangdut House Mania sedang ngetop, saat dangdut menyesuaikan diri ke jenis musik internasional yang sedang trendi, yaitu house music".

Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora itu juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi, album-album rekamannya yang semakin ngerock mengalir tanpa dapat dibendung, bahkan oleh Pemerintah Orde Baru yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya, TVRI.

Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang, setelah BEGADANG menjadi sangat populer, menyusul PENASARAN (1976), RUPIAH (1976), DARAH MUDA (1977), MUSIK (1977), 135 JUTA (1978), SANTAI (1979), HAK AZAZI (1980), BEGADANG II (1981), SAHABAT (1982), hingga INDONESIA (1983), yang semuanya diproduksi YUKAWI CORPORATION. Perusahaan rekaman ini kemudian menjadi SONETA RECORDS, milik Rhoma.

Dengan keberhasilan Rhoma itu, tidak salah apa yang dikatakan Marshall McLuhan dalam Understanding Media-Extensions of Man, "The hybrid or the meeting of two media is a moment of truth and revelation from which new form is born". (Hibrida atau pertemuan dua media adalah masa yang menentukan dan menginspirasi lahirnya sebuah bentuk baru).

LANGKAH Rhoma semakin tegap. Film-filmnya OMA IRAMA PENASARAN (1976), GITAR TUA OMA IRAMA (1977), DARAH MUDA (1977), RHOMA IRAMA BERKELANA I (1978), RHOMA IRAMA BERKELANA II (1978), BEGADANG (1978), RAJA DANGDUT (1978), CINTA SEGITIGA (1979), CAMELIA (1979), PERJUANGAN DAN DOA (1980), MELODY CINTA RHOMA IRAMA (1980), BADAI DIAWAL BAHAGIA (1981), SATRIA BERGITAR (1984), CINTA KEMBAR (1984), PENGABDIAN (1985), KEMILAU CINTA DI LANGIT JINGGA (1985), MENGGAPAI MATAHARI I (1986), MENGGAPAI MATAHARI II (1986), NADA-NADA RINDU (1987), BUNGA DESA (1988), JAKASWARA (1990), NADA DAN DAKWAH (1991), serta TAKBIR BIRU (1994) diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis.

Dalam Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng UCOK HARAHAP, yang bersama grup rock AKA-nya pernah bertarung dengan Soneta di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.

"Secara terus terang saya mau katakan bahwa Oma Irama adalah seorang seniman musik yang menarik. Coba saja kita perhatikan, bagaimana dia membangun musik dangdut dengan warna lain daripada yang lain. Dia berani melangkah untuk mencari variasi dan pembaruan dalam musiknya," kata Ucok ketika saling membagi nasi tumpeng dengan Rhoma dalam acara selamatan dimulainya produksi film itu akhir November 1977.

Film-filmnya Rhoma tidak salah jika dikatakan sebagai film musik rock bernapas Islam yang pertama di dunia. Terutama Perjuangan dan Doa, yang mengisahkan perjalanan Rhoma dan Orkes Melayu Sonetanya ke berbagai daerah sambil berdakwah. Tujuh lagu yang dalam film ini semakin meyakinkan Rhoma bahwa dengan dangdut-rocknya, dia juga bisa menjalankan misi agama.

Meskipun, lagi-lagi, Rhoma diterpa berbagai komentar yang tidak setuju dengan langkahnya, seperti yang diberitakan harian TERBIT, 16 Juli 1980: "Yang berpendapat misi dakwah melalui musik dan film seperti yang telah ditampilkan H Rhoma Irama sebagai tindakan yang tidak terpuji, karena masyarakat menilai Rhoma lebih condong pada komersialisme disamping penampilan Rhoma tidak ubahnya seperti Elvis Presley, seniman penyanyi barat".

Elvis memang menjadi King of Rock ’n Roll dan Rhoma yang merespons musik rock dengan baik menjadi Raja Dangdut dengan penyanyi-penyanyi dangdut lain sebagai hulubalangnya.



BEGADANG BOLEH SAJA, ASAL ADA.......
Rhoma irama lahir tahun 1947. Tahun 1968 menyanyi untuk Om Purnama dan bertemu Elvy Sukaesih. Tahun 1969 diajak rekaman oleh Om Chandralela, yang membuatnya menanjak. Tahun 1976 pecah dari Elvy.

Nyonya Tuti Burda senang musik. Kalau tak ada pertunjukan, yang selalu hampir tak dilewatkannya, di rumahnya di Tasikmalaya ia tak pernah absen menikmati musik dari radio. Suaminya, seorang perwira pertama TNI AD, lebih suka sandiwara. Bahkan ia memimpin grup kesenian Sunda Lutung Kasarung. Tapi juga suka lagu Cianjuran. Suatu malam, 9 tahun yang lalu, mereka nonton rombongan sandiwara Irama Baru. Pulangnya perut sang nyonya bergejolak. Maklum sudah 9 bulan mengandung. Beberapa jam kemudian lahirlah anaknya yang kedua, lelaki. Mereka sepakat memberinya nama Irama, seperti nama grup yang barusan ditonton. Sejak kecil mendapat julukan Oma, umur 17 tahun anak itu hampir saja meninggal karena sakit perut. Sekarang ia bernama Oma Irama. Siapa yang belum mendengar nama biduan "dangdut" yang terkenal itu?

Dari seluruh anak-anak nyonya Tuti Burda (yang suaminya kini sudah almarhum tapi ke-12 anaknya masih utuh), hanya 2 orang yang mewarisi 'darah seni' orang tuanya. Selain Oma Irama adalah Anna Bahfen, anak ke-5, biduanita Orkes Melayu Chandralela. Awal perjalanan karir Oma sendiri dimulai dari iseng-iseng nyanyi di hawah pohon sawo di kampung Bukitduri atau di tepi jalan Tebet Utara. Suaranya lantang. Iringannya cuma gitar dan tepukan tangan atau pukulan bangku kawan-kawannya. Beberapa waktu kemudian ia menyanyi untuk sebuah orkes melayu di kampungnya. Tapi di luar ia bergabung dengan band anak-anak muda Tebet seperti Tornado atau Varia Irama Melody. Itu ketika ia masih duduk di bangku SMP dan kemudian SMA, 1960.

Justru karena begitu getol nyanyi itulah, sekolahnya agak berantakan. Konon juga karena faktor ekonomi yang tak mengizinkan, di SLA ia pernah pindah sekolah sampai 4 kali: negeri, Kristen, bersubsidi. Kuliahnya di Fakultas Sospol Untag pun hanya sempat diikutinya selama setahun. Ia memang pernah punya cita-cita lain. Bahkan almarhum ayahnya dulu pernah menginginkan Oma menjadi dokter. Kini ia sukses sebagai penyanyi. Pernah tertarik lagu-lagu Beatles, ia masuk band The Gay Hand. Ketika itu bahkan ia merasa mampu menirukan gaya penyanyi-penyanyi Barat yang terkenal seperti Paul Anka, Tom Jones atau Andy Williams.

Namun kawan-kawannya lebih sering mendorong-dorongnya membawakan lagu-lagu India atau Melayu. Tahun 1968 ia menyanyi untuk Om Purnama. Di sinilah ia bertemu dengan Elvy Sukaesih, pasangan duetnya yang awet sampai tahun kemarin. Melihat kemampuan itu, tahun berikutnya Hussein Bawafie pemimpin OM Chandralela, mengajaknya rekaman. Ia menyanyikan lagu Ingkar Janji. Dua tahun kemudian nasib Oma Irama mulai berubah. Ketika rekamannya Bina Ria (bersama OM Purnama, 1971) berhasil menduduki tempat pertama dalam deretan lagu-lagu Melayu, sedikit demi sedikit (tapi pasti) namanya mulai menanjak naik. "Itulah sebabnya kemudian saya berketetapan hati membawakan lagu-lagu Melayu", ujarnya 2 pekan lewat di rumahnya kawasan Kebonbaru Tebet Timur.

Mengaku "rumah ini hadiah dari PT Yukawi", tempat tinggal Oma Irama ini tak begitu jauh dari perumahan pelawak-pelawak Eddy Sud dan Ateng, penyanyi Muchsin-Titiek Sandhora dan pembawa acara Krisbiantoro. Bangunan mewah yang berdiri di atas tanah tak kurang dari 400 meter peregi itu kabarnya berharga sekitar Rp 27 juta. Kecuali kolam yang indah, ada pula ruangan khusus tempat latihan OM Soneta. Juga sebuah garasi yang dihuni sebuah VW kodok biru telur bertuliskan "Dunk Doel" di kaca depannya. Selain peralatan musik lengkap (termasuk piano yang bagus), perabotan rumah tangganya tak bisa disebut murah. Nilainya tak kurang dari Rp 5 juta. Rumah itu belum 3 bulan ditinggali, baru diisi seminggu setelah Oma kembali dari naik haji. Ia berangkat ke Tanah Suci bersama ibunya, 6 Nopember 1975 yang lalu. Pulangnya merasa tak perlu menambah nama seperti halnya kebiasaan haji-haji yang lain (kecuali titel H di depan namanya). "Soalnya nama saya sudah terlanjur cukup dikenal orang", katanya.

Nyonya Oma, sementara itu sibuk mengerjakan disain dan pelaksanaan pembangunan rumahnya. "Saya tak puas dengan gambar yang diajukan pemborong. Maka saya bikin gambar sendiri, pekerjanya dicarikan oleh kakak Bung Oma", tutur nyonya Oma yang bernama Veronica. Sebegitu jauh, bangunan itu belul juga memuaskan pemiliknya. Bagian atap yang berlantai beton yang selama ini sebagai tempat jemuran, kelak akan disempurnakan menjadi ruangan tingkat dua. Mencari rumah ini tak begitu sulit. Naik becak dari Pasar Tebet atau dari jembatan Kampung Melayu, tak perlu repot menyebut blok atau nomor rumah (yang memang belum ada). Cukup hanya bilang "antarkan ke rumah Oma Irama" -- maka becak akan meluncur langsung ke sebuah rumah mewah dengan marmer abu-abu di kawasan Kebonbaru, di mana kali Caiwung mengalir persis di depannya.

Cincin-Cincin Bagus

Sebagai penyanyi, perawakan Oma memang pop. Agak kekar, tak terlalu jangkung, tak terlalu pendek. Sebelum naik haji dulu rambutnya gondrong sampai agak di bawah bahu. Sekarang rambutnya agak rapihan sedikit meski masih cukup tebal. Cambangnya saja yang masih dipertahankan. Tak ketinggalan dengan mode anak-anak muda sekarang, celananya pun tentu saja cutbrai, sepatu hak tinggi, hem yang berumbai-rumbai di bagian pergelangan tangan dengan dua kancing terbuka bagian atas.

Lehernya berhiaskan kalung, beberapa jari tangannya berlilitkan cincin-cincin bagus. Gelang akar bahar di pergelangan tangan kanan, arloji berantai emas di tangan kiri. Acap tampil begitu (kadang juga di rumah tapi setelah pulang dari Mekah, pernah muncul dengan jubah putih, sorban tersampir di pundak dan tasbih terkalung di leher. Dan dengan beraninya ia nyanyi dengan pakaian "wak haji" begitu di panggung....

Sebagai suami dan ayah (anaknya baru satu, perempuan, bernama Debby Veramasari Irama, 3 tahun) ternyata Oma pun cukup telaten. Sibuk memang, tapi ada saja waktu buat keluarga. Hari-hari libur selalu ia pergunakan untuk rekreasi bersama anak-isteri. Misalnya berenang di Bina Ria, nonton atau hanya jalan-alan menghirup udara segar. Menghadapi suguhan masakan isterinya, ia hampir tak pernah menolak. Biasanya lebih suka daun-daunan segar untuk lalap. Tapi terutama sekali ikan bandeng bakar, apalagi dabu-dabu (sambal Menado). Isterinya memang keturunan Menado campur Belanda, anak sulung dari 9 putera-puteri Adrian Tembuleng dan Flora van Bruijn, keluarga yang juga doyan musik. Adapun Oma, berayah asal Bandung, beribukan asal Banten. Veronica sendiri meski cuma berpendidikan SMP kelas 3 (dan kini 23 tahun) toh sudah pintar main piano, setelah 4 tahun belajar pada Lusy Assaat, anak Mr. Assaat, bekas Pd. Presiden waktu Sukarno-Hatta ditangkap Belanda. Dari isterinya inilah Oma belajar memetik toets-toets instrumen besar itu (dan belajar not balok dari seorang rekan bernama Mansur).

Kisah cinta Oma-Veronica agak menarik. Suatu ketika, 6 tahun lalu, kebetulan mereka main di Lampung. Oma nyanyi untuk band Junior, Veronica nyanyi dan main organ untuk band The Beach Girls pimpinan Annie Kusuma. "Selain di panggung, kami juga ketemu di hotel dan ngobrol-ngobrol. Sebelumnya tak saling kenal", tutur Veronica. Tak sampai setahun kemudian, mereka pun menikah dan Veronica mengikuti agama suaminya, Islam. Tentang ini ayah Veronica, pensiunan PN Nurani Farma itu bercerita: "Keluarga Tembuleng itu sebenarnya 60% Islam, 40% Katolik. Ibu saya, yaitu nenek Veronica, malah pernah berpesan agar anak-anak saya diizinkan menikah dengan siapa saja.

Jangan ditentukan mesti begini-begitu. Soal agama, yang mana pun toh sama baiknya. Dalam hal agama Katolik, kalau warganya mau nikah dengan orang berlainan agama mesti ada dispensasi dari gereja. Untuk Veronica saya tidak memintakan itu". Tapi benar bahwa ketika melamar dulu Oma memang menghadapi sedikit kesulitan. "Bagaimana mungkin, sebab ketika itu Oma sudah beristeri", tambah Adrian Tembuleng yang sebelum 1966 menjadi care taker pimpinan Kimia Farma Maka Oma pun pulang dengan tangan hampa. Belakangan ibu Oma yang maju, katanya: "Bagaimana kalau Oma sudah cerai?" Maka tak lama kemudian Oma-Veronica pun menghadap penghulu.

Veronica yang cantik, bertubuh subur, berkulit putih bersih itu, tampaknya berusaha betul menyesuaikan diri sebagai seorang muslimah. Ia selalu mengenakan rok panjang, seperti yang juga biasa dipakai oleh gadis-gadis PGA atau madrasah. Tapi tentu saja dari bahan yang jauh lebih bagus dan mahal. Sesaat setiap Oma mau pergi atau pulang, ia selalu mencium tangan suaminya. Begitu pula kalau Veronica kebetulan ada acara keluar, berbelanja misalnya. Dan Oma pun mengulurkan tangan kanannya dengan lembut. Kerukunan yang begitu ideal, ternyata tak mampu menimbulkan rasa cemburu pada Veronica manakala suaminya dipuja-puja oleh para fans yang tentunya tidak hanya terdiri dari cowok-cowok sja. "Saya bisa memaklumi peran seorang penggemar yang memuja penyanyi terkenal. Soal cemburu harus diletakkan secara wajar.

Biasa toh, kalau ada fans yang begitu -- asalkan mereka tahu batas saja", ujar Veronica. Tapi biar pun keduanya sama-sama artis, toh tak terlintas sedikit pun impian bahwa kelak anaknya akan menjadi penyanyi pula. "Biarlah saya saja yang jadi tukang ngamen. Tapi anak saya benar-benar jangan sampai jadi penyanyi kata Oma. Meski begitu, ia merasa tak mungkin nyanyi terus sampai tua. "Itu kan hanya impian. Saya sendiri tak tahu, setelah ini mau jadi apa. Soal nanti, itu terserah Tuhan. Toh Tuhan itu maha pengasih", tambahnya.

Pecah Dari Elvy

Peranan Veronica bagi Oma memang cukup penting. Meskipun tidak selamanya bisa mempengaruhi ciptaan Oma, toh Oma sendiri setelah selesai menulis lagu dan syair, tak jarang minta pertimbangan isterinya yang sampai sekarang masih mencintai dunia musik. Sangat sering mencipta lagu sampai larut malam, Veronica selalu melayani atau menyediakan apa saja yang diperlukan suaminya: alat perekam, kaset, buku, makanan, minuman. Semuanya siap dan lengkap di meja. "Dengan begitu ia tak perlu berteriak minta ini-itu, bisa konsentrasi sepenuhnya", tutur Veronica. Kalau sudah mengarang lagu, ia jadi angker di rumah "jangan coba-coba mendekat" kata isterinya. Menurut Oma, sudah 300 biji lagu ciptaannya. Semuanya berjenis dangdut, temanya diangkat dari kehidupan seharl-hari. "Kalau-tadi malam saya mendapat ilham, paginya saya udah di piano. Atau, pagi dapat ilham, malamnya bikin aransemen", lanjut Oma. Sebulan rata-rata bisa mencipta 4 sampai 5 lagu, tapi adakalanya cuma sebiji saja. Yang paling populer adalah Begadang, tentang lagu ini ada cerita sedikit. Suatu hari mertuanya bilang: "Kalau mencipta lagu jangan terlalu memforsir diri. Kalau bergadang terus begitu, nanti kamu sakit". Maka Oma pun lantas menulis lirik: ...Begadang boleh saja Asal ada gunanya; Kalau terlalu banyak begadang ...."Begadang boleh saja, asal ada perlunya. Kalau terlalu banyak begadang, muka pucat karena darah berkurang. Darilah itu sayangi badan, jangan begadang setiap malam....".

Ia memang penyanyi yang cepat sukses. Dan sukses pula mengantongi uang. Oleh salah sebuah perusahaan rekarnan ia pernah dibayar Rp 250 ribu untuk 4 lagu. Dulu pembayarannya berdasarkan sistem royalties (prosentase dari hasil penjualan). Sekarang kontrak, honorarium dihitung per lagu -- dan perusahaan PH yang bersangkutan bisa mencetak sebanyak-banyaknya. Kalau Oma main untuk sebuah show, tarifnya begini: 30% dari hasil kotor untuk pertunjukan yang bersifat komersiil, tapi 50% (dari yang 30% itu) kalau untuk amal. Itu bersih untuk Oma dan rombongan. Transpor dan akomodasi -- tanggungan panitia.

Dalam hal ini Oma mengaku "uang tak mulak perlu bagi kehidupan saya lebih senang menguasai uang dari pada dikuasai uang". Meskipun begitu, toh pada akhirnya timbul juga rame-rame. Dan pangkal persoalannya tak lain tak bukan soal fulus juga. Sementara sekarang lebih intim dengan perusahaan rekaman Yukawi, ia terlibat konflik-kontrak dengan perusahaan sejenis yang lain, yang sebelumnya pernah merekamnya, Remaco. Maka para fans Oma sekarang boleh berdendang: begadang boleh saja, asal ada uangnya.....

Membuntuti Begadang, populer pulalah lagu Rupiah dan Penasaran. Juga lagu-lagu lain yang ia bawakan secara duet bersama Elvy Sukaesih. Tapi juga gara-gara rupiah pula, sekarang keduanya erpisah. Oma kontrak dengan Yukawi, Elvy bergandengan dengan Remaco. "Sebenarnya ketidak-cocokan itu sudah terasa sejak 1974. Tapi mengingat sumpah tetap berduet, saya masih berusaha berbaik-baik", kata Elvy. Ketika Oma meneken kontrak dengan Yukawi tanpa konsultasi dengan pasangannya, maka Elvy pun yang dulu memang penyanyi solo kian merasa perlunya teken kontrak sendiri, langsung tidak melalui Oma. Ini semua terjadi justru pada saat Oma lagi menunaikan ibadah haji. Dan konon memang ada fihak luaran yang sengaja memecah mereka -- seperti halnya perpecanan grup Mercy's -- tentu saja untuk mencari keuntungan komersiil. Sepulang dari Mekah, Oma pun bilang, "sudah tak ada gunanya lagi berduet dengan dia".

Untunglah, sementara Elvy kabarnya ingin membentuk grup Melayu sendiri bersama Muchsin, penyanyi dan rekan lamanya (kabarnya sudah bergabung dengan OM Kelana) tak lama kemudian Haji Dangdut Oma Irama pun mendapat ganti. Pertengahan Januari lalu OM Soneta main untuk sebuah pesta. Kebetulan di sana hadir pula Rita Sugiarto, 17 tahun. Lebih terkenal dengan nama Rita S, bekas pemenang beberapa kali dalam kejuaraan nyanyi di Semarang ini nama aslinya Derta Kismiyarti. Waktu masih duduk di bangku SD malah pernah jadi juara pertama lomba baca Al-Qur'an sekodya Semarang. Di tempat pesta itulah ia nyumbang nyanyi.

Dan sejak itulah ia berkenalan dengan OM Soneta. Hijrah ke Jakarta sejak pertengahan 1975, pertengahan Januari yang lalu ia sudah muncul bersama Oma dalam sebuah show di Istora Senayan. Mengenakan celana panjang warna hijau berkembang,-- sepatu tinggi, baju ketat, bibir merah, goyang pinggulnya tak kalah dengan Elvy. Dan malam itu Oma elah mampu menyelamatkan pertunjukan dari cemoohan publik setelah grup-grup lainnya, termasuk Koes Plus dan penyanyi Melky Goeslaw yang juara Pop Singer Nasional itu gagal.

Belajar Bahasa Arab

Kalau tak ada show, jadwal latihan OM Soneta rata-rata 3 kali seminggu di rumah Oma. Meski jreng-jrengnya terdengar sampai di luar, para tetangga tampaknya maklum. Dan tetangga Oma memang tak begitu banyak. Dulu malah hanya berlatih di studio tempat rekaman. Honorarium dibagi rata dengan para pemain orkes. Tapi begitu selesai rekaman, mereka bubar. Baru ketika karir Oma menanjak, Oma membeli peralatan musik sendiri lalu mengumpulkan kembali rekan-rekannya. Oma sendiri belum puas dengan karirnya sekarang. "Saya ingin Soneta menjadi grup musik teladan", katanya. Maksudnya, jangan sampai ketularan ganja. Dulu memang ada anggotanya yang suka fly, tapi sekarang sedikit demi sedikit sudah ada perubahan. Dalam Soneta ada aturan keras: dilarang menjamah minuman keras, ganja, narkotik, berbuat mesum. Dan harus sembahyang. Seminggu sekali keluarga Soneta menyelenggarakan pengajian di rumah Oma, seorang ustadz dipanggil memberikan ceramah agama. Oma sendiri setelah bertitel haji, secara privat mulai belajar bahasa Arab. Dalam setap penampilan di panggung pun Oma selalu mengawali acaranya dengan: "Di sini Oma Irama bersama Orkes Melayu Soneta. Assalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh....".

Selama ini ia mengaku bermaksud berda'wah lewat lagu-lagunya -- pernyataan yang sebelumnya pernah diucapkan oleh Trimbo. Di lain fihak Oma menyesalkan sebagian orang Islam yang ragu-ragu terhadap musik. Padahal Islam toh tidak melarang, apalagi untuk maksud-maksud da'wah. Guru ngaji Oma sendiri pernah berkata: "Pada suatu hari Nabi Muhammad bertandang ke rumah sahabatnya, Abubakar. Di teras rumah seorang kawan Aisyah, anak Abubakar, asyik bemain musik. Melihat Nabi datan, Abubakar menyuruh anak itu berhenti nyanyi-nyanyi. Tapi apa yang terjadi? 'Biarkan saja musik itu, untuk kegembiraan' kata Nabi". Yang dimaksud dengan da'wah oleh Oma, tidak semata harus berbau agama. Mengajak atau memperingatkan hal-hal yang bersifat baik, sudah termasuk da'wah.

Bahwa lagu-lagu Melayu dianggap sebagai konsumen orang berselera kampungan, Oma tidak menyangkal. "Soalnya pemain orkes Melayu umumnya tidak terpelajar, instrumen mereka tidak sementereng band dan syairnya pun rata-rata cengeng, lunglai, dari itu ke itu saja", katanya. Tapi bersama Oma, lagu 'kampungan' itu kini sudah menembus kawasan 'gedongan', termasuk rumah paman Oma di Kebayoran Baru. "Dulu oom saya anti Melayu. Jangankan membeli kaset atau PHnya, mendengar saja tak mau, biar itu suara kemenakannya sendiri", dan Oma tertawa senang.

Katanya, dulu banyak penyanyi-penyanyi kita menjiplak lagu-lagu India. Kemudian berusaha mengaransirnya, sedapat mungkin berwarna Melayu. Tampaknya yang benar-benar asli (Melayu Deli) cuma lagu-lagu S. Effendy atau koleksi Orkes adio Medan tahun 50-an. "Sekarang orang menjuluki lagu-lagu saya sebagai Melayu dangdut. Saya tak tersinggung, malah senang", kata Oma. "Dan saya kira cukup memenuhi selera. Tentu saja jangan dibandingkan dengan musik klasik. Itu kan jauh panggang dari api".

Tempo Edisi 52/Maret 1976


RHOMA IRAMA
RHOMA Irama, dalam konteks masyarakat Indonesia, mungkin bukanlah sosok seorang penyanyi, melainkan sebuah fenomena sosial-budaya dan politik. Tentu saja, sosok semacam itu tak tumbuh seketika. Di awal 1970-an, ketika remaja, saya menyaksikan duetnya dengan Elvi Sukaesih. Tapi bukan di gedung besar, melainkan di sebuah dusun di Kelurahan Cilandak, Jakarta, yang kini persis di samping Institut Ilmu Pengetahuan (IIP). Oma –demikian ia disebut sebelumnya –kala itu tak lebih dari seorang penyanyi. Tapi kini, seperti yang kita lihat, ia telah menjadi “figur besar” yang melintasi dinding musik. Bahkan mendorong Mbak Tutut dan Bung Harmoko menariknya sebagai calon wakil rakyat dari Golkar.

Apa yang membuat Rhoma menjadi fenomena? Remy Silado, pengamat musik yang hingga kini liat bertahan, memberi penjelasan dengan nada kritis. Rhoma, menurutnya, bukanlah pedangdut asli. Ia hanya seorang musikus yang mencangkokkan aliran musik cadas (rock) ke dalam dangdut, dan dengan itu Rhoma berhasil memantapkan diri sebagai avant garde dunia dangdut. Tampaknya, dengan formulasi ini, Remy ingin mengatakan bahwa Rhoma tak berhak menyandang gelar “kepangeranan” dunia goyang itu karena persoalan orisionalitas aliran musik. Walau Remy mungkin benar-terutama karena Rhoma lebih dulu menggeluti musik pop, sebelum dangdut-saya lebih melihat persoalan psiko-budaya yang memberi landasan kemunculan tokoh ini.

Masalahnya mungkin terletak pada cultural schism (perpecahan budaya) antara penganut musik dangdut dan pop, seperti yang saya rasakan di masa remaja, di pinggiran selatan Jakarta. Konstituen musik pertama, secara budaya, terkategorikan “rendah” dan tak memiliki selera budaya kota. Mereka, pada umumnya, tinggal di desa-desa dengan tingkat pendidikan yang tak terlalu tinggi. Pendukung musik kedua sebaliknya. Berselera tinggi, hidup di kawasan perkotaan, dan di atas semuanya berpendidikan relatif tinggi. Maka, sekali lagi, seperti yang saya saksikan, murid sekolah umum yang telah mencapai pendidikan tingkat menengah ka atas di kawasan Pasar Minggu pada 1970-an cenderung mencemooh dangdut. Dunia pendidikan, dalam konteks ini, adalah alat emansipasi intelektual. Tapi dalam konteks kultural, pendidikan itu sendiri telah menciptakan watershed, yang memisahkan struktur selera budaya lampau dengan kekinian. Di sini walau secara geografis tetap berada di tempat yang sama, seseorang yang telah terdidik diharuskan melakukan migrasi kultural.

Seandainya proses pendidikan dan migrasi kultural ini berlangsung secara masif, mungkin musik dangdut akan kehilangan basis konstituennya. Tapi faktor struktural memberikan hasil yang sebaliknya. Elitisme pembangunan Orde Baru di masa awal tak berhasil mentransformasikan lapisan masyarakat secara sosial –ekonomis dengan sempurna. Bahkan sebaliknya. Konsentrasi derap pembangunan (hanya) di kota besar, terutama Jakarta, telah menciptakan wilayah-wilayah itu menjadi “kantong uang”. Tentu saja, terkepung oleh desa miskin di sekitarnya, penciptaan “kantong-kantong” ini telah menjadi magnet yang menyedot penduduk desa berhamburan ke kota besar. Maka. dalam konteks demografis dan kultural, yang terjadi dari elitisme pembangunan itu adalah arus migrasi fisikal masyarakat desa, bukan migrasi kultural dan intelektual.

Apa konteksnya Rhoma dan musik dangdutnya? Kontinuitas migrasi fisikal itu telah makin memperluas basis konstituen musik dangdut. Walau telah tinggal di wilayah “berbeton” –ketika sawah becek dan berlumpur makin jauh- kaum imigran asal desa ini tak menemukan habitat selera budaya pada musik kota, kecuali dangdut, yang mengundang goyang dan syair-syair sederhananya. Dalam kata lain, hanya dengan dangdut mereka yang tercerabut dari akar-akar desa itu menemukan secara lintas etnik. Dangdut, dengan demikian, telah berfungsi sebagai pengayom kultural dari proses pengasingan fisikal.

Pada struktur semacam inilah Rhoma tegak. Di tengah-tengah konstituen yang makin meluas, dan dalam posisi budaya dangdut sebagai underdog, Rhoma tampil sebagai pembela-apa yang di katakan sendiri dalam sebuah lagunya-musik Melayu, musik yang mengayomi kaum imigran itu. Sebuah lagunya, Begadang, telah melambungkan Rhoma sebagai menjadi raja dangdut. Tapi di atas segala-galanya, lagu itu sendiri merefleksikan gaya hidup kaum imigran desa. Terlempar di perkotaan tanpa tempat tinggal permanen, mereka terpaksa melewati malam tanpa tertidur.

Tak mampu mendanai hiburan untuk diri sendiri, mereka-seperti terlihat pada film Laila Majenun-menemukan tempat artikulasi diri pada goyangan lagu Begadang, tanpa harus membayar.

Maka, Rhoma telah menjadi simbol “perlawanan” kultural bagi rakyat kecil yang tercemooh dan terpinggirkan. Dengan konstituen yang makin luas inilah Rhoma menjadi figur yang pengaruhnya melintasi batas-batas musik. Ini terjadi terutama ketika ia mulai memasukkan unsur-unsur dakwah dalam lagunya transformasi lebih lanjut karya-karyanya. Pada titik ini, ia tak lagi berhadapan dengan massa jelata yang haus pengayoman budaya, melainkan juga bertemu dengan komunitas kaum Muslimin yang jauh lebih besar. Dari sinilah kita memahami Rhoma sebagai fenomena sosial-budaya dan politik. Melalui kreasi seni dengan konstituennya yang begitu tipikal, ia melompat menjadi “tokoh politik”.

Maka tidaklah mengherankan, jika ia ditarik kian kemari oleh partai-partai politik tertentu untuk tujuan-tujuan politis. Keterlibatannya ke dalam Golkar dewasa ini adalah konsekuensi lebih lanjut dari proses perjalanan karier budaya anak Tasikmalaya itu. Tapi dalam posisinya yang “lain” kali ini, kita wajib bertanya. Akankah Rhoma akan kembali mengenang massa kecil imigran desa di kota-kota besar yang telah menjadi basis konstituen bagi “kebesarannya” dewasa ini?
Bersumber:  http://akulahdie.blogspot.com/2010/07/rhoma-irama-si-raja-dangdut.html

Jumat, 01 April 2011

Photo Muchsin&Titik Sandora


Titiek Sandhora - Mimpi Diraju (Muka SME 1038)
Titiek Sandhora - Mimpi Diraju (Muka SME 1038)
Titiek Sandhora  (Muka SME-1006)
Titiek Sandhora (Muka SME-1006)
Titiek Sandhora & Muchsin - Band 4 Nada (Mutiara SME-105)
Titiek Sandhora & Muchsin - Band 4 Nada (Mutiara SME-105)
Titiek Sandhora & Muchsin - Hello Sajang (Mutiara SME-111)
Titiek Sandhora & Muchsin - Hello Sajang (Mutiara SME-111)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Muka SME-1029)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Muka SME-1029)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Universal SHP 2068)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Universal SHP 2068)

Titiek Shandhora & Muchsin - Si Boby (Tugu Mas TME 4601)
Titiek Shandhora & Muchsin - Si Boby (Tugu Mas TME 4601)
Titiel Sandhora & Muchsin - Kontes Ratu Ketjantikan (Mutiara MME-104)
Titiel Sandhora & Muchsin - Kontes Ratu Ketjantikan (Mutiara MME-104)
Titiel Sandhora & Muchsin - Tante Girang (FMI FMEP 002)
Titiel Sandhora & Muchsin - Tante Girang (FMI FMEP 002)

Bersumber:
http://www.pbase.com/sid_presley/the_record_collection&page=all

Jumat, 25 Maret 2011

Islam jangan sampai tertipu AWAS ADA KRISTEN YANG MENIRU PERSIS ISLAM

, DARI SHALAT, PUASA PAKAIAN, BAHASA, SAMPAI KESEHARIANNYA

oleh Darul Wuled Pekalongan pada 24 Maret 2011 jam 13:53

Jangan kaget bila anda menemukan orang yang shalat, berjilbab atau berbaju muslim dg jubah atau peci, berbahasa arab, kaligrafi arab, dan lainnya yang sangat mirip dengan budaya Islam. Itulah sekte Kristen Ortodox Syiria (KOS). Ini cirinya

DASAR-DASAR AJARAN KOS MIRIP ISLAM
1. KOS berpuasa bulan April, 40 hari (shaumil kabir) Untuk mengenang kesengsaraan Kristus.(Meniru Puasa Ramadhan)
2. KOS memiliki puasa sunnah Rabu & Jum’at (Meniru Puasa Senin Kamis Islam)
3. KOS wajib zakat 10% dari penghasilan kotor (Meniru Zakat Fitrah)
4. KOS mewajibkan perempuan berjilbab & jubah menutup aurat hingga mata kaki. Dan yang pria berpeci dan bersarung
Jilbab Kristen
5. Kitab Injil yang dipertahankan adalah terjemahan Injil Aramic-Arabic bahasa Indonesia.
6. Pengajian KOS juga menggunakan tikar (lesehan), (Meniru gaya tradisional Islam)
7. Cara Shalat persis Islam, hanya waktunya ada 7 yaitu sa'atul awwal (shubuh), sa'atuts tsalis (dhuha), sa'atus sadis (Zhuhur), sa'atut tis'ah (ashar), sa'atul ghurub (maghrib), sa'atun naum (Isya'), dan sa'atul layl (tengah malam/tahajud).
Cara Shalat Krsiten
Shalat jamaah krsiten
Imam Shalat Jamaah Kristen
Kitab Pasholatan Kristen

KOS menyusup ketengah masyarakat islam, dengan menyamar/menyerupai Islam
1. Mengadakan Musabaqoh Tilawatil Injil (MTI) dengan menggunakan Alkitab/Injil berbahasa Arab (Mirip MTQ Islam)
2. Mengadakan acara rawi dan shalawatan (Mirip pembacaan/pengajian syarah hadits)
Pengajian kristen
3. Mengadakan acara Nasyid, bahkan namanya Islami “Amin Albarokah“ & Qasidah Kristen (lirik arab berisi injil)
Qosidah Kristen
4. Untuk menjadi pengikut KOS, jama’ah harus menjalani pembaptisan “Abuna Abraham Oo Men”.
6. Terlihat sangat santun & membiasakan berbahasa Arab (Ana, Antum, Syukron, dsb).
7. Membudayakan kaligrafi Kristen
Kaligrafi Krsiten

- Metodologi da’wah yang menyerupai umat Islam karena KOS berasal dari Syria.
Jilbab Ibu Ibu Kristen
- KOS tidak memakai 12 syahadat Iman Rasuli umat Kristen, diganti ”Qanun al-Iman al-Muqaddas”.
- Penggunaan istilah islami, seperti ”Sayyidina Isa Almasih” (Yesus).
- Mereka juga memakai Injil berbahasa Arab (Alkitab AlMuqaddas).

Kitab Kristen
- Prinsip ajaran KOS masih berputar sekitar masalah trinitas, adanya Tuhan bapak, tuhan anak dan tuhan ibu.
- Dan juga Yesus peranakan Maria, memiliki sifat insaniyah (sifat seperti manusia): tidak tahu musim, (Mar 11: 13), lemah (Yoh 5:30), takut (Mat 26:37), bersedih (Mat 26:38), menangis (Yoh 11:35), tidur (Mat 8:24), lapar (Mat 4:2), haus (Yoh 19:28),dsb.

Perbedaan Prinsip ajaran Islam dengan Kristen Ortodoks Syiria
1. Islam menolak ketuhanan Yesus (Qs. Al Maaidah 72) dan mendudukan sebagai nabi, sedangkan KOS mengakui Yesus sebagai Tuhan.
2. Islam berkeyakinan bahwa Tuhan itu tidak punya Ayah & Ibu (Qs. Al Ikhlash 3), sedangkan KOS berkeyakinan adanya Tuhan bapak, tuhan anak dan tuhan ibu. Maria sebagai Walidatul ilah (Ibu Tuhan).
3. Islam memegang teguh kesucian nama & sifat Allah: Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, Allah Maha Mengetahui, Maha Kuat, Mha Melihat, Tidak tidur dan tidak serpa dengan makhlukya, dan sebagainya. Sementara KOS tidak kuasa membendung kekurangan-kekurangan dalam sifat kemanusiaan Yesus yang tertulis dalam Alkiab.

Mengapa ini dilakukan oleh Kristen
- Karena agama Kristen Ingin berkembang pesat seperti Islam, walau tanpa (kristenisasi)
- Karena Kristen tidak ada kepastian cara peribadatan, hanya dari mitos, dongeng sebelum tidur
- Cara ini dibuat untuk mengkaburkan /menjebak secara halus perbedaan antara agama Islam dan Kristen
Gereja Kristen
- Penggunaan logo Islami
Logo Organisasi Kristen
..
Tentang penggunaan atribut ara, bahasa, tulisan dan tradisi lokal arab itu adalah hak, tapi bisa dipilah lebih detile sehingga jelas kedua agama ini.
1. Dapat dibedakan antara budaya dg sunnah, atau bahkan perintah. Adakah kristen mewajibkan jilbab, keculi hanya penutup kepala sebagaimana isi injil. Dan al Qur'an maupun sunnah mewajibkan menutup aurat. Beda dg tradisi jilbab jahiliah arab atau kristen ortodox, jadi beda asal usulnya
2. Tulisan/bahasa Injil boleh arab, tapi aslinya bukan arab, bukankah aslinya bahasa alkitab adalah Ibrani, Aram, ataukah Yunani?, mengapa alkitab di Indonesia menggunakan tulisan injil arab yg bukan bahasa aslinya, Qosidah, bahkan kaligrafi arab, dll. pasti ada tujuan kamuflase.
3. Kalaupun shalat pastilah tdk ada arah qiblat (Spt Qiblatnya Islam Ka'bah -yg difitnah sbg batu sesembahan oleh krsiten sendiri)
4. Pasti tdk ada ibadah haji,
--dan berjuta kejanggalan lainya antara budaya/tradisi dan perintah agama/sunnah nabinya.

Dan tidak bisa dipungkiri lagi kejahatan berjubah, prostitusi berjilbab adalah umat yang menyamar ini/kristen demi membersihkan nama baik agamanya dan mengakui beragama Islam, demi memfitnah Islam?.

Dan Remaja-remaja yang alim atau berjilbab melakukan freesex  mengikuti Valentine's Day (acara kristen) adalah remaja Kristen ?

Dan pelaku teroris adalah pelaku konspirasi yahudi kristen dan menyamar berjubah/cadar/janggut/aksesoris ala Islam?

Semua jadi sulit dibedakan mana lawan mana kawan

Oleh karena itu kita harus hati-hati sesuatu yang meyakinkan tampilannya, tetap berpegang pada Ajaran Islam yang murni (Sesuai sunnah-sunnah nabinya)

PANDAI-PANDAILAH BERBHASA ARAB, TAHU ARTINYA DAN TULISANNYA, INSYA ALLAH TIDAK TERJEBAK

Bonus Gambar - Akhirnya Nenek Teler melihat penyamaran agama
Musabaqoh Tilawatil Injil (MTI)

Minggu, 20 Maret 2011

Sejarah Elvy Sukaesih

 

 Nama:
Elvy Sukaesih
Lahir:
Jakarta, 25 Juni 1951
Suami:
Zaidun Zeth
Anak:
6 orang (Haedar, Fitri, Ali Zaenal Abidin, Syechans, Wirdha Sylvina dan Dhawiya)
Ayah:
Mohammad Ali
Ibu:
Rohayah Asiah
Pendidikan:
- SD
- SMP Srikandi, Jakarta (1964)
Pekerjaan:
- Penyanyi dangdut
- Pemain film
Organisasi:
Ketua Ikatan Artis Dangdut Indonesia (IKARDI)
Film:
- Karena Penasaran
- Tuyul
- Irama Cinta
- Senggol-Senggolan
- Cubit-Cubitan
- Mana Tahan

Bagi pencinta musik dangdut, Elvy Sukaesih adalah ratu. Mahkota "keratuan" Elvy tak ada yang meragukan, setidaknya menurut penggemarnya. Dengarlah, suara dengan "cengkok" yang khas dan aksi pentasnya yang menyihir banyak penonton. Elvy yang sudah manggung semenjak kelas 3 SD ini memiliki syarat sebagai "entertainer."

Penyanyi kelahiran Betawi ini, sebenarnya keturunan Sunda. Mohammad Ali, ayahnya, asli Sumedang begitu pula Rohayah Asiah, ibunya. Pasangan Sumedang ini, pada 25 Juni 1951 begitu bahagia. Pasalnya mereka dikaruniai bayi mungil. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama, Elvy Sukaesih.

Entah kenapa dikemudian hari nama Elvy berganti menjadi Else. Menurut pengakuan Elvy, "Itu pengaruh Belanda." Maka Elvy kecil adalah Else. Else yang memaksa ayahnya, pemain orkes gambus ikut kondangan.

Elvy mengaku tak pernah belajar musik secara khusus. Di sore hari, bila ayahnya sedang bermain gitar ia ikut menyanyi di teras rumah. Lagu yang didendangkan macam-macam. Trend rekaman waktu itu irama Melayu. Misalnya tembang roman Bunga yang dialunkan Else itu, biasa didendangkan Orkes Melayu Bukit Siguntang.

Selain menyanyi, sejak kecil Elvy sudah suka menari. Di dekat rumahnya ada gedung Bioskop Gembira yang memutar film India. Karena pengaruh film India, Elvy menjadi suka mendendangkan lagu India. Menurutnya musiknya enak dan energik. Suatu kali ibunya pernah bercerita padanya, “Waktu kamu kecil sering pakai handuk diplintir di kepala, seolah jadi rambut panjang, atau pakai kain menari seperti di film-film India. Kainnya dianggap sebagai sari India."

Suatu kali ayahnya harus pentas bersama kelompoknya. Malam minggu itu, sang ayah mengajak Elvy untuk ikut tetapi dengan syarat harus menyanyi. Pada awalnya Elvy menolak karena malu. Namun karena Elvy ingin ikut, akhirnya ia mengiyakan permintaan ayahnya. Saat itu Elvy masih kelas 3 SD.

Setelah beberapa penyanyi, sang ayah mulai memberi kode padanya untuk gantian menyanyi. Saat itu Elvy merasa takut pada ayahnya. Ayahnya memang tak pernah memukulnya, namun hanya menyentil telinganya. Namun sentilan itu baginya sudah cukup menyakitkan.

Akhirnya Elvy menyanyi. Waktu itu ia menyanyikan tembang Melayu "Taman Bunga". Lagu tersebut salah satu sound track film Sedetik Lagi yang dibintangi Eliya Rosa. Sebelum menyanyi, ia meminta kepada pemain biola agar memberitahunya kapan masuk dan kapan berhentinya dengan cara disenggol.

Tetapi ternyata ketika mulai menyanyi, Elvy sudah langsung tahu kapan masuknya, tanpa disenggol. Jadi tidak ada kesulitan sama sekali waktu ia menyanyi pertama kali di depan umum. Saat itu, orang-orang sampai naik-naik ke bangku, meneriaki Elvy "Eh anak kecil" atau "penyanyi cilik". Waktu itu sekitar tahun 1959-1960-an. Setelah lagu itu selesai, ternyata orang-orang memintanya untuk menyanyi lagi hingga tiga lagu.

Yang tadinya iseng, akhirnya jadi sungguhan. Elvy memilih dunia tarik suara jadi ladangnya. "Prinsipnya, saya menyanyi hanya untuk membantu orang tua-Iah. Nggak ada angan-angan mau jadi orang top," jelas Elvy datar. Maka, jadilah Elvy penyanyi cilik yang cukup kondang. la laris dalam acara perkawinan ataupun pertunjukan khusus. Kendati kondisi penyanyi masih dicap tabu, sering diolok-olok, Elvy tak menggubrisnya. "Saya cuek aja," tangkisnya.

Olok-olok ini juga dijumpai di sekolah. Apalagi kalau malamnya Elvy habis manggung. "Begitu malamnya habis main, besoknya di sekolah - teman-teman bisik bisik...itu biduan tuh, semalam habis main di kampung saya," cerita Elvy.

Selama menjadi penyanyi cilik, dalam hal sekolah Elvy tak pernah bolos. Meski pulang pukul 6 pagi sehabis pentas, Elvy tetap siap dengan seragamnya berangkat ke sekolah. Jika pentas di luar kota, Elvy berangkat belakangan bersama petugas khusus yang menjemputnya sepulang sekolah.
Resikonya, jam istirahat ia gunakan untuk tidur di kelas, sementara teman-teman lainnya bermain. "Kalau sudah ngantuk, saya taruh kepala saya di atas meja, lalu tiduran di kelas," kenang Elvy.

Elvy makin sering muncul bersamaan tawaran pentas yang terus mengalir. la tampil di sejumlah rombongan orkes Melayu. "Saya tampil sesuai dengan grup yang booking, ya...jadi rebutan. Malam Minggu tampil dengan grup ini, besok tampil dengan grup lain," jelas Elvy. Bapak-ibunya bergantian mengawal Elvy, kemana saja Elvy manggung.

Singkat cerita, sang ayah yang memperkenalkan Elvy pada dunia nyanyi meninggal karena penyakit yang dideritanya saat Elvy masih kelas lima SD. Peranan sang ayah kemudian digantikan oleh ibunya. Sepeninggal sang ayah, Elvy menyanyi untuk membantu keluarga. Begitu ia mendapat uang dari menyanyi, uang tersebut diberikan kepada ibunya. Ia tidak pernah memegang seperak pun.

Meski belum masuk dapur rekaman, ia terus menyanyi hingga terkenal termasuk ikut tur bersama Said Kelana. Ia mulai menyanyi di atas panggung, gedung kesenian, dan sebagainya saat berumur kurang lebih sebelas tahun.

Saat itu sedang ngetop lagu Ratapan Anak Tiri dan Boneka dari India. Saat Elvy membawakan lagu Ratapan Anak Tiri, banyak penonton yang menangis. Saat itulah Elvy untuk pertama kalinya diwawancarai oleh wartawan. Sejak itu, ia dikenal sebagai penyanyi cilik dan mulai keliling bersama beberapa grup musik.

Pada tahun 1964 di usianya yang ke-13, Elvy diajak Zakaria, pemimpin OM Pancaran Muda untuk rekaman. Elvy membawakan lagu Curahanku karya Murat Haris, serta karya lin Sumantri dengan tembang Rahasia Sukma. Sebelumnya, Elvy Sukaesih ikut juga dalam grup OM Sinar Medan. Elvy yang mengidolai Pangeran Diponegoro dan Soekarno ini bergabung dengan grup tersebut karena diajak oleh seorang pemuda yang senantiasa hadir setiap ia pentas.

Pemuda itu bernama Zeth Zaidun, yang kemudian banyak berperan membimbing Elvy meniti sukses. Zaidun waktu itu melihat Elvy memiliki bakat besar untuk menyanyi. Setelah Ellya Khadam, hanya Elvy yang memiliki suara khas," komentar Zaidun. Zaidun sendiri seorang penyanyi dan pemusik. Zeth Zaidun juga banyak membimbing beberapa orkes Melayu serta penyanyi. Antara lain, Mukhsin Alatas dan si "Raja Dangdut" Rhoma Irama. Setelah masa perkenalan selama setahun, Elvy menikah dengan Zeth Zaidun pada tahun 1965 di Jakarta. Ketika itu Elvy berusia 14 tahun sedang Zaidun 23 tahun. Setelah menikah, Elvy tidak diperkenankan menyanyi. "Lama-Iama karena saya suka murung Bang Zaidun mengizinkan lagi,” cerita Elvy.

Babak perjalanan Elvy selanjutnya, bergabung dalam grup OM Candraleka yang juga di dalamnya ada Zeth Zaidun. Di situ, Elvy diberi kebebasan untuk bernyanyi dengan grup apa saja, asal tidak mengganggu pentas OM Candraleka. "Pokoknya pasaran kita rame waktu itu,"seloroh Elvy. Ketika itu nama Elvy termasuk dalam daftar penyanyi Melayu yang top, bersama Zeth Zaidun dan Awab. Juga Alah Mukhis, dan Alah Muhamad Rafiq.

Karir Elvy di blantika dangdut pun kian bernas. Berbagai grup Orkes Melayu pernah mendukung penampilannya. Antara lain: OM Pancaran Muda, OM Sahara, OM Omega, OM El Sitara, OM Purnama, dan OM Soneta (milik Rhoma Irama). ''Tanpa mereka, entah jadi apa saya sekarang,'' ujarnya. Sebenarnya, Elvy bisa nyanyi pop, gambus, rock, atau lainnya. ''Tetapi saya merasa sudah mendapat kepercayaan masyarakat untuk menyanyi dangdut. Dan saya tidak mau serakah. Rezeki saya memang di sini,'' katanya. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an Elvy sah mendapat julukan ratu dangdut.

Gebyar Elvy yang paling yahud, tatkala berduet dengan Rhoma Irama. Beberapa album mereka hasilkan yang semuanya hits. Sebelum dengan Rhoma, sebenarnya Elvy sudah berjaya dengan Mansyur S. Ketika itu Rhoma belum terkenal. Ini kelebihan Elvy, berduet dengan siapapun pas. Tapi sayang, duet legendaris ini harus berpisah sekitar tahun 1975.

Rhoma-Elvy terakhir berpasangan ketika mereka sedang getol-getolnya berduet mendendangkan Lagu Cinta. Baru pada akhir tahun 2001 kerinduan penggemar agar mereka kembali berduet terjawab. Mereka tampil duet dalam acara pergelaran akhir tahun yang diselenggarakan oleh Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan SCTV. Bagi penggemarnya, pasangan raja dan ratu dangdut itu tak dapat dikalahkan penyanyi dangdut mana pun saat beraksi di atas panggung. Sembilan lagu populer mereka sekitar 1970-an mereka dendangkan bersama dalam acara tersebut.

Kegigihan Elvy meniti sukses adalah berkat dorongan Zeth Zaidun, pemuda yang akhirnya menjadi ayah keenam anaknya. Zaidun, begitu sabar merangkai sukses serta kasih sayang buat Elvy. Bagi Elvy, Zeth Zaidun tak sekadar suami. Dia adalah ayah yang membimbing kehidupan. Guru yang mengajari penuh kasih sayang, terhadap Haedar, Fitri, Ali Zaenal Abidin, Syechans, Wirdha Sylvina dan si bungsu Dhawiya anak-anaknya.

Selain mengais rejeki dari menyanyi, Elvy juga memperoleh rejeki dari bermain dalam film-film yang tidak lepas dari perdangdutan. Karena Penasaran, Tuyul, Irama Cinta, Senggol-Senggolan, Cubit-Cubitan, Mana Tahan adalah sebagian di antaranya. "Saya selalu bersyukur, sebab janji Tuhan mengatakan kalau engkau berkorban untuk-KU akan aku balas lebih dari apa yang kau berikan,” kata Elvy mengutip salah satu ayat dalam AI'Quran.

Sebagian rezekinya dimanfaatkan untuk mendirikan PT Mahkota Jaya Utama, yang dikelola suaminya. Usaha ini bergerak dalam bidang pemanduan bakat dan mempromosikan penyanyi-penyanyi baru. Elvy yang gemar makan ikan asin, lalapan, dan petai bakar, serta mahir memasak bihun goreng ini masih bisa kita jumpai bergoyang dangdut sambil mengerlingkan mata di layar televisi. ► mlp


TIADA TJERITA GEMBIRA donwload  Disini

orkes melayu klasik dangdut OM. CANDRALEKA





OM Chandraleka adalah salah satu orkes melayu klasik dangdut yang di pimpin Umar Alatas Elvy Sukaesih juga pernah bergabung sebagai Vokalis dang Raja Dangdut Rhoma Irama. Dalam Album ini Elvi yang akan terdengar suaranya dan di bawah ini beberapa lagunya:

  • 01 CERITA LAMA
  • 02 AKIBAT NARKOTIK
  • 03 KARENA ASMARA
  • 04 KAU PINTA KEMBALI
  • 05 HIANAT CINTA
  • 06 TINGGALKANLAH AKU
  • 07 FARIDA
  • 08 SUNGGUH JELITA
  • 09 RAYUAN PALSU
Donwload Disini

Sejarah Dang-Dut di Indonesia

OM SINAR KEMALA
OM SINAR KEMALA
A.KADIR
A.Kadir OM SINAR KEMALA



"Dangdut Is The Music Of My Country" senandung Project Pop,diiringi hembusan seruling bambu dan tabuhan gendang.Betulkah ?
Mari kita telisik dan telusuri lika-liku perjalanan musik dangdut yang mualanya tertatih-tatih.Acapkali dihina dan tak dianggap.Mungkin nkarena dangdut lebih dekat dengan kaum marginal,pinggiran dan ndeso serta hal-hal disharmonis lainnya.Musik dangdut kampungan.Bahkan disebut setara dengan maaf ....tahi anjing,seperti polemik seru yang terjadi antara Benny Soebardja dari grup rock Giant Step Bandung dan Oma Irama,panglima Soneta Group.
Tak terbantahkan jika kita menelisk silsilah dangdut maka kita akan sampai pada sebuah kuala bernama iraman melayu.Mungkin masih ingat kedigjayaan irama Melayu bisa ditoreh dari penyanyi S Effendi yang pada dasawarsa 1960-an berhasil mengembalikan supremasi irama melayu dari Malaysia ke Indonesia.
Melalui dendangnya pada lagu Bahtera Laju Said Effendi berhasil menempatkan dirinya sebagai pelantun irama melayu nomor wahid negeri ini. Tak hanya meminggirkan ketenaran P Ramlee, penyanyi irama melayu dan bintang film dari negeri jiran tersebut, tapi yang lebih ekstrem justeru merebut selaksa para penggemarnya. Puteh Ramlee yang mengaku keturunan Aceh itu beberapa tahun sebelumnya pernah berjaya antara lain lewat lagu Engkau Laksana Bulan dan Azizah. Selama beberapa tahun irama melayu berkiblat ke Malaysia. Bahkan hebatnya P Ramlee pun membintangi beberapa film layar lebar bersama pasangannya Kashma Boothi. Kesohoran P.Ramlee kian berkibar saja disini. Pendek kata,Ramlee menjadi sebuah prayojana penting yang tak terbantahkan sama sekali (saat itu).
Adaa pun Said Effendi yang disangka adalah penyanyi dari negeri jiran karena cengkok melayunya yang super medok,awalnya merintis karir sebagai penyanyi lagu-lagu gambus bersama iringan orkes gambus Al Wardah.Tak heran memang,Effendi sebetulnya merupakan ketuirunan Arab dari Bondowoso, Jawa Timur. Alunan suaranya yang merdu lalu kerapkali terdengar melalui gelombang RRI Jakarta. Dengan iringan orkes studio Jakarta yang dikomandani almarhum pimpinan Sjaiful Bahri nama Said Effendi membumbung tinggi melalui sdederet lagu yang diguratnya semisal: Bahtera Laju, Timang-timang, dan Fatwa Pujangga. Terlebih lagi saat Effendi pun menyenandungkan lagu bertajuk Semalam di Malaya (karya Syaiful Bahri) dan Diambang Sore (karya Ismail Marzuki).
Said Effendi bahkan mulai membentuk orkes melayu Irama Agung, dikuti sukses Effendi menyanyikan lagu karya Husein Bawafie Seroja . Keberhasilan seorang said Effendi sebenarnya merupakan titik kulminasi dari perjuangan para penyanyi lagu melayu di Indonesia.Hal ini pun diakui oleh Zakaria , pimpinan orkes melayu Pancaran Muda yang menaruh perhatian besar terhadap perjalanan irama melayu. Menurut Zakaria , penyanyi A Harris sebelumnya telah memecahkan masa stagnasi melalui lagu bertajuk Kudaku Lari, Doa Ibu, Lamunanku, Alam Nirmala, dan Jaya Bahagia .Lagu lagu itu ditulis sekaligus disenandungkannyabersama iringan orkes melayu Bukit Siguntang yang juga dibentuk dan dipimpinnya.
Sukses lagu Seroja yang menggumpal ternyat justeru menarik minat sutradara Nawi Ismail untuk menarik Said Effendi bermain ke layar sinema berdasarkan judul lagunya ". : Seroja.
Selain Nawi Ismail,lalu muncul sutradara alamarhum Asrul Sani yang juga mennawari Said Effendi membuat film Titian Serambut Dibelah Tujuh. Langkah langkah semacm ini jelas makin memperkokoh popularits Said Effendi di Indonesia dan Malaysia.


Bahkan terjadi pula lomba "mirip bintang" yang digelar di sini dan akhirnya sukses memilih Ridwan Amin sebagai vokalis yang suaranya mirip Said Effendi. Begitupula yang terjadi di negeri jiran,telah terpilih pula Achmad Zais,sosok yang memiliki suara bak pinang dibelah dua dengan Said Effendi. Walaupun, Achmad Zais lebih beruntung karena sempat bernyanyi secara duet dengan Said Effendi tatkala Effendi bermuhibah ke Malaysia ,lewat lagu Jumpa Mesra. Penampilan terakhir Effendi di layar perak adalah lewat film Pesta Musik Lobana karya Misbah Yusa Biran. Di sini ditampilkan beberapa band remaja top masa itu karena eranya telah bergeser dari irama melayu ke musik hiburan,istilah yang digunakan saat itu untuk genre musik pop. Akhirnya sosok Said Effendi juga mulai terlupakan khalayak. Zaman berganti,dan tren pun berubah.


Jika kita mundur ke belakang, sejak dasawarsa 1950-an, Indonesia mempunai sosok-sosok yang cukup sohorl sebagai penyanyi melayu. Misalnya Emma sangga, Hasnah Thahar, Juhana Satar, Suhaemi, A Chalik, M Syaugi, dan A Harris. Yang disebut terakhir ini pernah mencuri perhatian publik irama melayu lewat lagu India, Awarahum, dan Munif Bahasuan menyanyikan lagu O Petaji. Kedua lagu itu sampai kemari lewat film yang dibintangi aktor Huindustani yang berparas tampan Raj Kapoor .

Dan inilah para penghibur yang menuai popularits pada dasawar
sa 1960-an yaitu Ellya Agus (kelak berubah menjadi Ellya Khadam), Ida Laila, A Rafiq, M ashabi, Munif Bahasuan, Elvie Sukaesih, Ahmad Basahil, Muchsin Alatas, Oma Irama, dan Mansyur S.Di paruh dasawarsa 1970-an mulailah muncul para penguasa zona dangdut seperti Oma Irama, Elvie Sukaesih, dan Mansyur S Uniknya Oma Irama yang kemudian mengganti nama menjadi Rhoma Irama disebut Raja Dangdut dan Elvie Sukasesih sebagai Ratu Dangdut.Kedua sosok "berkuasa" tanpa kerajaan ini mulai menyihir khalayak dengan sederet lagu-lagu dangdutnya.
Lalu inilah sederet orkes melayu dan pimpinannya yang kondang pada kurun waktu 1950-1960 yaitu OM Sinar Medan pimpinan Umar Fauzi Aseran (yang merupakan leburan orkes gambus Al Wardah), OM Kenangan pimpinan Husein Aidid (leburan orkes gambus Al Waton), OM Bukit Siguntang pimpinan A Chalik, dan OM Irama Agung pimpinan S Effendi (1950-1960), pada periode ini di jalur musik hiburan muncul grup band Dolok Martimbang, Riana, Teruna Ria, Eka Jaya Combo, Koes Bersaudara, dan Los Suita Rama.
Selanjutnya pada dasawarsa 1960-an hingga awal 70-an mencuat adalah OM Sinar Kemala pimpinan A Kadir, OM Kelana Ria pimpinan Adi Munif, OM Chandralela pimpinan Husein Bawafie, OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria, dan OM Ria Bluntas pimpinan Ahmad Basahil. Sampai pertengahan dekade 1970-an tercatat OM Purnama pimpinan Awab Abdullah, dan OM Soneta pimpinan Oma Irama asal Tasikmalaya.






Orkes Melayu Bukit Siguntang banyak melahirkan lagu-lagu hit seperti Burung Nuri (A Chalik) dan Dunia (Suhaemi). Juga yang tak boleh dilupakan adalah ketenaran sosok Munif Bahasuan juga pernah melejit melalui lewat lagu karyanya bertajuk Bunga Nirwana.Di tengah dasawaras 70-an lagu ini dipopulerkan kembali oleh Sam bersama kelompok D'Lloyd pimpinan Bartje Van Houten.
Namun badai musik pop pun datang meneerpa keberadaa orkes melayu.Orkes Melayu tersudut dengan menggelegaknya musik rock'nroll pada dasawarsa 1960-an.Demikian pula musik pop riuh rendah oleh band band anak-anak muda yang dilengkapi dengan peralatan musik mutakhir , seperti Teruna Ria (pimpinan Zaenal Arifin), Eka Jaya Combo (Rudy Rusadi), Eka Sapta (Bing Slamet), dan Koes Bersaudara (Tony Koeswoyo).
Barometer kesuksesan mereka ini adalahketika tampil dalam sebuah perhelatan musik akbar yang beerlangsung di Istora Senayan, dan trenyuhynya musik melayu masih tetap setia di pinggiran. Para penyanyi pop papan menuai keberhasilan tiada tara , sebut saja misalnya Ida Royani (Sado Angkasa karya Aman Doris dan Jangan Duduk di Depan Pintu-karya Zakaria). Sukses kemudian diraih Ida Royani karena setelah menyanyikan lagu Jangan Duduk di Depan Pintu ia berduet dengan Benyamin dalam lagu-lagu bertema gambang modern yang menjadikannya terkenal.
Ada juga penyanyi Mus Mulyadi membawakan lagu Hitam Manis-karya R Asmi dan Seminggu di Malaysia-karya Zakaria. Hampir semua band yang dikenal sebagai pembawa jenis sebagai pembawa jenis musik pop terjun kedalamnya.Ini terjadi secara massal pada tahun 1974,atas gagasan Eugene Timothy pemilik label raksasa saat itu Remaca Ada Koes Plus, Bimbo, D'lloyd merekam lagu-lagu pop melayu termasuk grup rock asal Surabya AKA Group yang dipimpin Ucok Harahap . Sejak itu Remaco mengharuskan semua grup musik yang rekaman di sana untuk memasukkan satu lagu pop melayu dalam albumnya. Tugas ini dipercayakan kepada Zakaria. Pada masa inilah muncul nama-nama beken seperti Tetty Kadi (Kasih Diambil Orang) Rhoma Irama (Anaknya Lima berduet dengan Inneke Kusumawati), dan Titiek Sandhora (Boleh-boleh Jangan dan Pura-pura Benci). Lagu-lagu tersebut merupakan hasil karya karya Zakaria.
Hingga akhirnya sukses besar yang berhasil diraih penyanyi Ellya Agus menyanyikan lagu karangannya sendiri Kau Pergi Tanpa Pesan dan Munif Bahasuan menyanyikan lagunya sendiri Bunga Nirwana di Istora Senayan dengan iringan band paling top masa itu Eka Sapta yang didukung Bing Slamet,Idris sardi,Ireng maulana,Darmono,Itje Kaumonang dan Benny Mustafa van Diest. Pertnjukan musik terbesar itu ternyata diluar dugaan memperoleh perhatian besar masyarakat Jakarta dan sekitarnya.Mungkin karena menampilkan penyanyi yang gtengah naik daun seperti Tetty Kadi, Ernie Johan, Lilis Suryani, Pattie Bersaudara, Tom & Dick
Peristiwa itu menjadi istimewa karena untuk pertama kalinya sebuah band mengiringi penyanyi melayu sehingga dianggap sebagai come back-nya irama melayu dalam blantika musik Indonesia dan untuk pertama kalinya pula sistem playback diperkenalkan kepada masyarakat. Lagu Kau Pergi Tanpa Pesan kemudian direkam Remaco dengan iringan orkes melayu Chandralela pimpinan Husein Bawafie dan terkenal luas karena menjadi makanan empuk radio-radio non RRI yang jumlahnyaq bak jamur di musik hujan.
Pada 1968 Orkes Melayu Pancaran Muda pimpinan Zakaria menggelar opertunjukan di Istora Senayan bersama Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin dalam rangka ulang tahun RRI. Lilies Suryani saat itu sedang beken dengan lagu Bulan Purnama menjadi jagoan OM Pancaran Muda di samping nama -nama lainnya seperti Juhana Satar, R Sunarsih, Elvie Sukaesih, dan Zakaria sendiri. Zaenal Combo yang didukung Enteng Tanamal dan Fuad Hasan justeru mengiringi Tetty Kadi, Alfian, Ernie Johan, dan Pattie Bersaudara.
Oma yang pernah menjadi penyanyi pop dan rock mulai menerjuni dangdut secara genial.Oma memanfaatkan elektrifikasi pada perangkat band dalam ramuan orkes melayunya.OmIa melakukan perombakan besar-besaran dalam hal instrumentasi, syair, bahkan kostum pemusiknya.Kelak Oma mulai menyusupkan ruh musik rock dalam tatanan musik dangdutnya itu.
Akibat yang nyata, irama melayu memperoleh predikat yang tepat yaitu dangdut.Sebuah istilah yang dirujuk dari efek suara gendang yang menjadikan irama ini memiliki ciri khas karena mengundang orang untuk bergoyang. Untuk bisa berbuat seperti itu, tentu bukan pekerjaan orang baru. Irama telah menekuni irama melayu dan hiburan sekitar lima tahun. Sejak tahun 1960 ia sudah menyanyi dengan berbagai grup musik melayu. Kesempatan pertama merekam suaranya baru diperoleh pada tahun 1960 bersama orkes melayu Chandraleka pimpinan Umar Alatas. Namun karena rekaman ini tidak berhasil mencuatkan namanya, ia pun pindah ke orkes melayu Purnama pimpinan Awab Abdullah. Belum puas, ia pun pindah ke orkes melayu Pancaran Muda pimpinan Zakaria yang merekam suaranya lewat lagu Di Dalam Bemo karya Zakaria berduet dengan Titing Yani. Dan sampai awal dekade 1970-an namanya masih tetap belum dikenal masyarakat. Masuknya Oma Irama pada zona musik pop bermula ketika menyanyikan lagu Anaknya Lima karya Zakaria bersama band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin. Di sini Oma yang banyak terpengaruh Paul Anka berduet dengan Inneke Kusumawati. Selanjutnya Oma Irama berkolaborasi dengan band Galaxi pimpinan Jopie Reinhard Item yang beraliran rock.Jopie pernah ikut mendukung Empat Nada hingga Eka Sapta.
Dengan amunisi yang cukup pada akhirnya Oma Irama mulai membentuk orkes melayu Soneta pada awal tahun 1973. Dari sinilah terobodan terobiosan yang jadi bagian dari eksperimentai musiknya melesat cepat bak anak panah.."Begadang","Penasaran","Darah Muda" dan banyak lagi lainnya mulai mengepung kuping khalayak negeri ini.
Secara perlahan tapi pasti,dangdut mulai menerobos ke atas tak hanya untuk golongan menengah kebawah belaka.Dangdut bahkan bisa pukla mencapai undakan sebagai jatidiri bangsa..Dangdut mulai ada dimana-mana.Termasuk di layar kaca TV,media elektronik yang pernah alergi terhadap virus dangdut.
Maka berdendanglah Project Pop : "Dangdut Is The Music Of My Country.My Country.......".Jelas tak terbantahkan.
Bersmber:
http://dangdutsonata.blogspot.com/2010_01_01_archive.html