Minggu, 08 Mei 2011

Biografi Rhoma Irama album Lagu&Filmnya

  Nama asli     : Raden Haji Oma Irama
  Nama beken : Rhoma Irama
  Lahir             : Tasikmalaya, 11 Desember 1946
  Ayah             : Raden Burdah Anggawirya
  Ibu                :Tuti Juariah
  Isteri            : Ricca Rachim (11 April 1959)

Pendidikan:
SD Kibono Manggarai Jakarta
SMP Negeri XV Jakarta
SMA Negeri VIII Jakarta (sampai kelas II)
SMA PSKD Jakarta
St Joseph Solo
SMA 17 Agustus Tebet Jakarta
Fakultas Sospol Universitas 17 Agustus

Alamat:
Jalan Pondok Jaya VI/14, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7192571

E-mail:
ricca_rachim@yahoo.com
 

Rhoma Irama adalah seorang revolusioner dalam dunia musik Indonesia yang mencanangkan semboyan Voice of Moslem pada 13 Oktober 1973 sekaligus menjadi agen pembaharu musik Melayu yang memadukan unsur musik rock dalam musik melayu serta melakukan improvisasi atas syair, lirik, kostum dan penampilan di atas panggung.
http://1.bp.blogspot.com/_5Xrl63GcN98/S06nIsS-PzI/AAAAAAAAAgE/2pg0E1uiNEI/s400/rhoma-irama-2.jpg 
Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama yang berjuluk Raja Dangdut, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara, yaitu delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan saudara kandung, dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya).

Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama Irama Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Ia sangat pandai dalam memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu cianjuran. Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah, ia pun merupakan keturunan ningrat dan pandai pula dalam menyanyi, seperti lagu No Other Love yang sering didengarkan Rhoma sewaktu kecil.

Sebelum tinggal di Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah, kakaknya Benny Muharram dilahirkan. Sedangkan Rhoma lahir di Tasikmalaya beberapa saat setelah pindah ke kota tersebut. Setelah lahir Rhoma, lahir pula adik-adiknya, seperti Handi dan Ance. Setelah itu, mereka pindah lagi ke Jakarta dan tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, lalu pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di kota inilah mereka menghabiskan masa remajanya sampai tahun 1971, lalu pindah ke Tebet.

Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti tiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD ia sudah bisa membawakan lagu-lagu barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Latta Mangeshkar. Selain itu ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan oleh Umm Kaltsum.

Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya, Arifin Ganda sering mengajarkan lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil.

Karena usia Rhoma yang tidak berbeda jauh dengan kakaknya, mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang malas mengikuti pengajian di surau atau di rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah dan ibunya bertanya, apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ‘ya. Berangkat ke sekolah pun mereka selalu berangkat bersama-sama dengan berboncengan sepeda. Keduanya bersekolah di SD Kibono, Manggarai.

Ketika SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-murid yang lain yang sering malu-malu di depan kelas. Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai kelas-kelas lain. Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu anak-anak maupun lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.

Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian dari penyanyi senior, Bing Slamet karena terkesan melihat penampilan Rhoma ketika menyanyikan lagu barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari, ketika Rhoma duduk di kelas 4, Bing Slamet membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang berharga bagi Rhoma.

Sejak saat itu, meskipun belum berpikir untuk menjadi penyanyi Rhoma sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Atas usaha sendiri ia belajar memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang sekolah yang pertama dicarinya adalah gitar. Begitu pula ketika setiap kali ia keluar rumah hampir selalu membawa gitar. Pernah suatu kali ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulah tersebut, ibunya merampas gitarnya lalu melemparkannya ke pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat Rhoma sedih karena gitar adalah teman nomor satu baginya.

Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari musik ia mulai menyadari bahwa meskipun ayah dan ibunya pasangan berdarah ningrat yang menyukai musik, tetapi mereka tetap menganggap bahwa dunia musik bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan atau dijadikan profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia menyanyi dan beranggapan, bahwa musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma semakin berkembang di luar rumah karena jika di rumah ia kurang mendapat dukungan.

Pada saat Rhoma duduk di kelas 5 SD tahun 1958 ayahnya meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak yaitu: Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni, Herry dan Yayang. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya yang masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari istrinya yang dulu dan setelah menikah dengan ibu Rhoma memiliki dua anak lagi.

Ketika ayah kandungnya masih hidup suasana di rumahnya feodal. Bahasa sehari-hari ayah dan ibunya adalah bahasa Belanda. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tatakrama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan ‘Den’ (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, seperti bermain hujan ataupun membolos sekolah.

Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan memiliki beberapa mobil, seperti, mobil merk Impala, mobil yang tergolong mewah pada waktu itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.

Namun, suasana feodal tersebut tidak ada lagi setelah ayah tirinya hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan, berkat ayah tiri serta pamannya inilah Rhoma mendapatkan ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat musik akustik seperti, gitar, bongo, dan sebagainya.

Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya di dunia musik. Rhoma juga sering adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan atau paling tidak saling bersaingan. Dengan demikian perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.

Bukitduri, tempat tinggalnya hampir setiap kampung di daerah itu terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukitduri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Banyak anak muda dari Bukitduri Puteran dan dari Manggarai yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap mereka bertemu.

Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah, bahwa teman-temannya hampir selalu menjadikannya sebagai pemimpin. Tentu saja bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhoma-lah yang diharapkan tampil di depan untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali Rhoma juga sering mengalami babak belur bahkan luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.

Ketika ia masuk SMP tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing karena sejak kecil ia sudah dapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) kepada Pak Rohimin di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di jalan Talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng para anggotanya saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.

Karena kebandelannya itulah, maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas sehingga karena malu maka ia sering berpindah sekolah. Kelas 3 SMP pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.

Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Pada waktu bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam dan luar sekolah membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.

Pada masa SMA di Solo Rhoma pernah melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan kota Solo. Di sana ia ditampung di rumah seorang pengamen yang bernama Mas Gito. Sebenarnya sebelum terdampar di Solo ia berniat hendak belajar di pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, karena tidak membeli karcis Rhoma, Benny (kakaknya) dan tiga orang temannya, Daeng, Umar dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan dan diturunkan ditempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari Yogya mereka naik kereta lagi menuju Solo.

Ketika di Solo Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolahnya diperoleh dari ngamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Kemudian, ia kuliah di Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus. Tapi, hal tersebut hanya bertahan satu tahun karena ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar.

Musik pop dan rock merupakan langkah pertama Rhoma sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan kakak kandungnya, Benny Muharram, bahwa Rhoma sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan oleh Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967, meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes melayu.

Selain menjadi penyanyi Orkes Melayu Candraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody. Bersama band-band tersebut Rhoma membawakan lagu-lagu pop barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu yang berjudul Diana ataupun Put Your Head On My Shoulder dan lagunya Andy Williams seperti, Butterfly, Moon River, serta Tom Jones seperti, Green-green Grass of Home, Dellilah.

Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya ia sempat membentuk Band Gayhand. Ketika musik Rock n’ Roll melanda Indonesia, ternyata hal tersebut membuat Rhoma terpesona hingga dalam hatinya ia bertekad “Elvis saja bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa”.

Namun begitu berada di dalam dunia musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records. Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi, Melati di Musim Kemarau dan Cinta Buta. Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknya Lima, dibawakan duet ini. Munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.

Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, kemudian Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi juara.

Pada acara Panggung Gembira Hari Radio ke 26 di halaman gedung RRI Jln. Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Rhoma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi-penyanyi duet lainnya, seperti, Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani- Benyamin Sueb. Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13 Oktober 1970.

Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica Agustina Timbuleng dan lantas menikahinya pada tahun 1972. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak, yaitu Debbie Veramasari, Fikri Zulfikar dan Romy Syahrial.

Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli serta Yoan dengan lagu Si Kodok pada tahun 1976. Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta Group yang bersemboyan Voice of Moslem (Suara Muslim), Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dengan menyuntikkan musik rock ke dalam album dangdutnya yang pertama yang berjudul ‘Begadang’, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega dan Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulut pro dan kontra.

Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis. Ujung-ujungnya diadakan diskusi yang bertajuk “Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut” di Gedung Merdeka Bandung pada akhir Juni 1976, dengan Maman S. dari majalah Aktuil sebagai penyelenggara, dan menghadirkan pembicara Dr. Sudjoko dari ITB, Remy Silado, Benny Subarja dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma yang tidak hadir. Ahmad Albar dan Harry Roesli yang diundang tidak juga tidak kelihatan. Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti, tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado. Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, pada 22 Desember 1977 dengan maksud melihat mana yang lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan merpati putih sebagai tanda perdamaian.

Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora tersebut juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi sampai-sampi masyarakat menjulukinya ‘Raja Dangdut’. Album-album rekamannya yang semakin ‘ngerock’ mengalir tanpa bisa dibendung, bahkan oleh pemerintah Orde Baru sekalipun yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Hal tersebut merupakan dampak atas lagu-lagunya yang menyindir pemerintah, seperti pada lagu Hak Azasi. Pada lagu tersebut dengan gagah berani Rhoma berbicara mengenai HAM, kebebasan berbicara, beragama, bekerja dan sebagainya.

Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang. Setelah album Begadang menjadi sangat populer, menyusul album-album berikutnya, seperti; Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi oleh Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini lantas berubah menjadi Soneta Records, milik Rhoma.

Langkah tegap Rhoma semakin mantap dengan membintang 24 judul film, yaitu ;
- Badai di Awal Bahagia (1981),
- Jaka Swara (1990),

diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis. Dalam film Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap dari grup rock Aka yang pernah bertarung dengan Soneta Group di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.

Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan tahun 1984. “Tidak ada kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah Tempo pada 30 Juni 1984. sementara itu Rhoma sendiri berkata, “Saya takut publikasi, ternyata, saya sudah terseret jauh”.

Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma laku. Bahkan, sebelum sebuah film selesai diproses orang sudah membelinya, seperti film berjudul Satria Bergitar misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Menurut kakaknya, Benny, yang juga produser PT Rhoma Film, Rhoma tidak pernah makan uang dari hasil film, tetapi dari hasil penjualan kaset. Uang hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja dan perbaikan kampung. Bahkan, pada tahun 1983 Rhoma membayar zakat sebesar Rp 6 juta.

Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan perolehan material, Rhoma bisa dikatakan sebagai pemusik terkaya di negeri ini. Bayangkan, sebelum pemusik lain naik mobil Mercy, ia sudah menikmati kenyamanan mobil mewah itu sejak tahun 70-an. Hal tersebut terindikasi ketika membaca wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, saat Rhoma secara rendah hati menyatakan punya uang yang cukup meski tidak banyak. Hal itu masuk akal, mengingat sejeblok-jebloknya kaset Rhoma Irama di pasaran, minimal akan terjual sampai 400 ribu copy per album. Ini semakin menggelikan jika dibandingkan dengan musisi di luar dangdut yang acapkali berbangga secara berlebihan meski kasetnya hanya terjual tak lebih dari 100 ribu copy.

Boleh jadi sampai kini kejayaan Rhoma belum tergantikan. Kalau dulu ada sebutan The Big Five untuk para ‘Bintang Mahal’, seperti, Roby Sugara, Roy Marten dan Yati Ocktavia, maka pada saat yang sama sebenarnya nilai kontrak Rhoma tetap jauh di atas mereka. Bahkan, banyak produser film rela menunggu giliran sampai tiga tahun hanya untuk dapat mengontrak Rhoma.

Selain itu, Rhoma juga terhitung sebagai salah satu penghibur paling sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam negeri, tetapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura dan Brunei Darussalam dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Beberapa media massa Indonesia melaporkan, bahwa, penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka lantaran terlalu berdesakan. Hal yang sangat disesalkan Rhoma sendiri. “Untuk mendapatkan hiburan, mengapa mesti sampai jatuh korban begitu?” katanya.

Rhoma menyatakan, bahwa dirinya banyak dijadikan bahan rujukan penelitian. Ada sekitar 7 skripsi tentang dirinya dan musik yang telah dihasilkan. Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya obyek penelitian, salah satunya adalah William H. Frederick, Doktor Sosiologi, Universitas Ohio, AS pada 1985 dengan judul; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture, yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat. Ia menyebutkan dalam tesisnya, bahwa: “Rhoma Irama adalah revolusioner dalam dunia musik Indonesia. Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama adalah penghibur paling jempolan.

Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma Irama”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Bila di dunia musik Amerika sosok Mick Jagger sangat berpengaruh, di Indonesia, bandingan sosok yang sepadan dengannya ada pada figur Rhoma Irama. Kedua orang ini sama-sama jenius dan otodidak. Keduanya mampu tampil ke posisi puncak musikalnya karena kekuatan bakat alam yang luar biasa hebat.”

Pada akhir April 1994 Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tanaka dari Life Record Jepang di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam bahasa Inggris dan Jepang, untuk diedarkan di pasar Internasional. Rencananya lagu-lagu tersebut dibuat dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).

Mereka digambarkan sebagai raja dan ratu yang sama-sama mempunyai kerajaan. Suasana itu makin kental dan legitimate dengan hadirnya MURI (Museum Rekor Indonesia -red.) yang memasukkan Rhoma dan Elvy sebagai raja dan ratu dangdut Indonesia. Meski terlambat, tentu cukup menghibur. Soalnya, jauh sebelum itu, di tahun 1985, majalah Asia Week telah menempatkan Rhoma Irama sebagai raja musik Asia Tenggara.



Album Kaset Rhoma Irama

Rhoma Irama dengan Soneta Group-nya telah banyak mempersembahkan lagu-lagu bermutu untuk kita. Bahkan, sebelum lahir Soneta Group pada 13 Oktober 1970 pun, Rhoma Irama telah menyanyikan banyak lagu. Berdasarkan pengakuannya, Rhoma Irama telah menciptakan sekitar 685 buah lagu. Dari 685 lagu ciptaan Rhoma Irama tersebut, di sini hanya akan dipaparkan sebagian saja, karena keterbatasan pengetahuan penulis tentang lagu-lagu beliau.
Berikut ini adalah lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama dengan iringan musik oleh Soneta Group.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2lpzL6fB6IXfDwosqt5rOScgftIp6LpuXekVjo9Z1Vjdu_kehiL5nfmJoDVexLwUKVm2hwqM6hN1zLyKxhI-V9dK5s0HA8RS5XiMv5lDWo_3de8Y308w5YGSuEO87ngfe-Lz4WGQtl0I/s200/714.jpg
1. Begadang (Rhoma Irama)
2. Sengaja (Elvie S.)
3. Sampai Pagi (Rhoma Irama/Elvie S.)
4. Tung Keripit (Rhoma Irama)
5. Cinta Pertama (Rhoma Irama)
6. Kampungan (Elvie S.)
7. Yale le (Rhoma Irama)
8. Tak Tega (Rhoma Irama)
9. Sedingin Salju (Elvie S.)
10. Sya la la (Rhoma Irama/Elvie S.)
Inilah debut album Soneta Group bersama Yukawi yang melejitkan hits Begadang. Dengan lirik dan beat yang sederhana lagu Begadang menghantarkan Soneta Group bersama Pak Haji dan Elvy Sukaesih ke gerbang kesuksesan. Konon sebetulnya yang dijagokan adalah lagu Tung Keripit yang dinilai memiliki nilai lebih dari segi aransemen musik dan beat lagu. Lagu Begadang sempat pula direkam dan diedarkan oleh Remaco dengan artis Favourites Group pimpinan A. Riyanto. Pada tahun 80-an, Group Jazz Karimata (kalau tidak salah) pernah merekam lagu Begadang secara instrumental.
Album Begadang merupakan kaset Indonesia pertama yang menyelipkan lirik lagu pada sampul/cover kasetnya.
Cover kaset menampilkan foto Pak Haji yang berambut gondrong dan Elvy Sukaesih berdiri di depan rumah dengan pakaian khas tahun 70-an.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhM67IQocnTotmjzY-SZlR7BXJUKbFYzU0q8CRxwcNAH3vrVM9EDD1bz7VkPFPJO2I7e8iC7_BK70tygT1Nms2RAgIp_wUouKO2adO9RrNixciWRrQwu7_vZSntfDWHAH5Wez8Y_HSkooI/s200/Soneta+Vol+III.jpg
1. Penasaran (Rhoma Irama)
2. Kejam (Elvie S.)
3. Kelana 3 (Rhoma Irama)
4. Asam Garam (Rhoma Irama/Elvie S.)
5. Engkau (Elvie S.)
6. Kubawa (Elvie S.)
7. Gembala (Rhoma Irama)
8. Rujuk (Rhoma Irama/Elvie S.)
9. Teman (Rhoma Irama)
10. Satu Antara Dua (Elvie S.)
Album ini melahirkan hits Penasaran. Lagu Teman sekilas sangat mirip dengan lagu Holiday-nya Bee Gees.
Cover kaset gambar setengah badan yang diambil dari samping, Pak Haji bersedekap berhadapan dengan Elvy S. yang juga bersedekap saling berpandangan.
Soneta Vol-3 1975 Rupiah (Yukawi)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikX8MCIkGCn6VejobIA-k16d6HwncBh3_YopbN5Ft9lwEbAGXzUFVva8phaLMIZ6BR2jBjspHqDEQ7mW_zhnBQ6Mj1rGcJKlINjIjRROJFx13DTNEOw_ngqj9kjK-ZH993VSM_fprnXBo/s200/715.jpg
1. Rupiah (Rhoma Irama)
2. Birahi (Elvie S.)
3. Beku (Rhoma Irama)
4. Rambate Rata Hayo (Rhoma Irama/Elvie S.)
5. Datang untuk Pergi (Elvie S.)
6. Dendam (Rhoma Irama)
7. Asal Sombong (Elvie S.)
8. Air Mata Darah (Rhoma Irama)
9. Hello-hello (Rhoma Irama/Elvie S.)
10.Mengapa Merana (Elvie S.)
Album ini dirilis menjelang keberangkatan Pak Haji ke tanah suci. Cover kasetnya keren. Pak Haji dan Elvy S. berdiri sejajar bertumpu pada instrumen musik dengan busana merah menyala dan rambut yang dibiarkan tergerai.
Album ini menjadi puncak perseteruan antara Remaco dan Yukawi yang saling mengklaim mempunyai hak kontrak atas Pak Haji, Elvy dan Soneta. Bahkan saling perang iklan/somasi yang dimuat pada majalah Tempo. Album ini juga merupakan album terakhir Elvy S. bergabung dengan Soneta dan selanjutnya bersolo karir di bawah Remaco, seteru Yukawi. Lagu-lagu dalam album ini malah direkam dan diedarkan oleh Remaco dengan penyanyi Nanang Qosim (Qori’) dan mengganti judul lagu Rupiah menjadi Uang, Birahi menjadi Nafsu dan Hello-hello menjadi Apa Kabar. Remaco mengaku telah membeli lagu tersebut dari pihak Pak Haji. Pak Haji yang saat itu sedang berada di karantina Haji sama sekali tidak mengetahuinya. Belakangan diketahui ada kerabat Pak Haji yang menjual lagu tersebut kepada Remaco.
Semua lagu ciptaan Pak Haji kecuali lagu Beku yang diciptakan bersama Yeyet (ada yang tahu siapa dan di mana Yeyet ini sekarang?)
Lagu terakhir (Mengapa Merana) sepertinya tidak dibuat dan diiringi oleh Soneta karena terasa sekali atmosfernya beda dengan atmosfer musik Soneta.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwnRCOtgGYl9vvkquxDo_NqlrLuSfXvStBfBeBPO3kF8sqzXH4oA6VPbroUx2T1VysykNv4tDJeKs5jMJhQbJAunetrlyw-4AqAYYhfAfQ-DfxquIKZFJukmX6Rs_3ant6vTPWx0_K4aI/s200/soneta-vol-4-darah-muda.jpg
1. Darah Muda (Rhoma Irama)
2. Apa Kabar (Rhoma Irama/Rita S.)
3. Kematian (Rhoma Irama)
4. Biduan (Rita S.)
5. Cuma Kamu (Rhoma Irama/Rita S.)
6. Awet Muda (Rhoma Irama)
7. Dilarang Melarang (Rita S.)
8. Pria Idaman (Rita S.)
9. Api dan Lautan (Rhoma Irama)
Album ini adalah debut pertama Rita Sugiarto bergabung bersama Soneta. Album ini merupakan kaset pertama yang memberikan hadiah kepada pembelinya berupa sebuah poster yang berukuran sangat besar yang bergambar Pak Haji yang sudah tidak gondrong lagi sepulang ibadah haji dan Rita S. yang sedang melambaikan tangan.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh715sol-mCWX3DajIZnF5DMz1Wo7y2AhHnHYS2_fbrqES9YwRP_gYU3Pb6bt8l1jCthfpiw3SA3REPDPDtMRFKDnZ4nacxeNo1q_9WXS6FeIqmCgaEhgI5bDo4ZJIPdZWhkBpB5DvGo24/s200/soneta-vol-5-musik.jpg
1. Musik (Rhoma Irama)
2. Hitam (Rita S.)
3. Lapar (Rhoma Irama)
4. Joget (Rhoma Irama/Rita S.)
5. Masya Allah (Rhoma Irama)
6. Pasangan (Rita S.)
7. Kandungan (Rhoma Irama/Rita S.)
8. Nyanyian Setan (Rhoma Irama)
9. Kunang-kunang (Rita S.)
Album ini adalah album terakhir Herman (Bass) dan Kadir (gendang) bergabung dengan Soneta. Karena perbedaan prinsip keduanya mengundurkan diri usai sebuah pertunjukan tour show di Jawa Timur.
Herman dan Kadir kemudian membentuk OM. Sanita dengan penyanyi Teti Safari, kemudian sempat bergabung dalam OM. Mahkota bersama Elvy Sukaesih dan sempat pula bergabung dengan Tarantula-nya Camelia Malik dan Reynold Panggabean. Penampilan mereka bersama Tarantula bisa disaksikan pada film Colak-coleknya Camelia Malik.
Tahun 2003 Herman kembali bergabung menggantikan Alm. H. Popong yang saat itu sakit keras.
Cover kasetnya bergambar Pak Haji menyandang gitar dengan pakaian putih lengkap dengan sorbannya.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZwgXHOXhmFBTO7XhccvDUZdnj3hFHpEsiFUmHN3c22-rE2FfYRYcygqnFp8iTZ8xC15ZINAFSifTB1_myh4f7f7aKCGOUhyphenhyphenFaycVgSwDuHsqIYUQdq2kx8ZA6d9h1l8PwVpnlkYktdFQ/s200/soneta-vol-6-135-juta.jpg
1. 135.000.000 (Rhoma Irama)
2. Ajojing (Rhoma Irama/Rita S.)
3. Cup-cup (Rita S.)
4. Any (Rhoma Irama)
5. Lidah (Rhoma Irama)
6. Cinta Segitiga (Rita S.)
7. Pemarah (Rhoma Irama)
8. Bunga Surga (Rhoma Irama/Rita S.)
9. Lukaku (Rita S.)
Posisi gendang pada album ini diisi oleh H. Afif, yang awalnya adalah musisi Rock Gafiyas dari Jawa Timur. Herman masih sempat mengisi bass untuk album ini.
Lagu 135.000.000 menjadi lagu favorit pilihan pemirsa yang diselenggarakan oleh Radio Puspen Hankam ABRI, sedangkan Rhoma Irama dan Rita S. meraih predikat penyanyi kesayangan pemirsa.
Lagu 135.000.000 adalah satu-satunya lagu di Indonesia yang judulnya berubah-ubah setiap tahun. Saya punya rekaman live Pak Haji menyanyikannya menjadi 165.000.000 pada pertunjukan Indonesia Musik Festival di Istora Senayan, menjadi 185.000.000 pada pertunjukan Semarak Dangdut di Ancol dan belakangan menjadi 200.000.000.
Cover album ini Pak Haji berjubah hitam mengadahkan tangan ke udara sambil menyandang gitar.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEit6gWo_R0RPQrnmnJydsRKQ5kRTws5b73NyLAmJFfqO7P0mWe8Ix2AcjXRwfK2XELFdDpjt-wPypE-Enwv4L8DZpxevihxl0Nfyyx5UBYjsg_JHN1SZer-U2kQtD2e4zRAe1CmmkpDqA8/s200/Trisna+Benderane+Soneta.jpg

1. Santai (Rhoma Irama/Rita S.)
2. Keramat (Rhoma Irama)
3. Teman Biasa (Rita S.)
4. Kekasih (Rhoma Irama)
5. Do Mi Sol (Rhoma Irama)
6. Bahasa Isyarat (Rita S.)
7. Banyak Jalan Menuju Roma (Rhoma Irama)
8. Bercanda (Rita Sugiarto)
Pak Haji pada saat perilisan album ini menyebutnya sebagai funky dangdut. Indra Lesmana sangat suka lagu Santai yang menurutnya pada Majalah Mutiara tahun 1985 sebagai fusion. Group Band GIGI pernah membawakan lagu ini pada show-nya di Amerika. Kolaborasi yang apik untuk lagu santai terjadi saat acara Joged RCTI yang menampilkan kolaborasi Soneta dan DKSB-nya (alm.) Harry Rusli yang menggandeng penyanyi jazz, Shania untuk duet bersama Pak Haji. Kehebohan terjadi karena Harry Rusli membawa perabot makan mulai dari piring, sendok sampai meja keatas panggung. Slank-pun pernah membawakan lagu ini pada pertunjukan Slank dan Soneta di Sidoarjo. Di tangan Slank, lagu Santai jadi makin nge-rock dan sangat asyik dinikmati.
Cover album ini bergambar Pak Haji sedang memainkan Sitar India lengkap dengan tumpukan gendang tabla-nya. Pada Album ini bass sudah mulai diisi oleh H. Popong, rekan H. Afif di Band Gafiyas.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9EcH7uZwus6CV1efxTfZvyh7ek5SikbS5VmvxNeaIFVXopB55eaHct000b31VrEoke4mw2jrWut3aZEyrgI5POc3N3jIDKZM7r-mN4tTz8ayYQAALDssi6URWOUz0rf7iu4lWb4DnQdA/s320/Soneta+Vol+VIII.JPG

1. Hak Azazi (Rhoma Irama)
2. Cape (Rhoma Irama/Rita S.)
3. Buta (Rhoma Irama)
4. Mati Aku (Rita S.)
5. Ingkar (Rhoma Irama)
6. Percuma (Rita S.)
7. Kuraca (Rhoma Irama)
8. Ada Udang di Balik Batu (Rhoma Irama/Rita S.)
Menurut saya inilah awal revolusi dangdut ala Soneta. Raungan gitar Pak Haji mulai dominan pada album ini. Sound Gitarnya sudah sangat mirip Ritchie Blackmore. Saya paling suka permainan melody Pak Haji pada lagu Buta dan Percuma. Sepertinya lagu Buta ini satu-satunya lagu yang menggambarkan perasaan seorang tunanetra benar-benar menyentuh. Pada lagu Ingkar, Pak Haji mencoba bergaya nge-rap pada beberapa bagian syairnya. Lagu Kuraca mengingatkan saya pada lagu Dendang Riang yang dibawakan Pak Haji tahun 70-an bersama OM. Purnama. Terobosan Pak Haji bersama SONETA di album ini benar-benar berhasil dan hebat.
Album ini sempat dilarang diiklankan di TVRI, bahkan mulai pada saat itu Rhoma dan Soneta benar-benar diharamkan masuk TVRI meskipun hanya lewat iklan. Alasan tertulisnya tidak pernah ada. Tetapi kemungkinan karena kemenangan PPP yang didukung Pak Haji atas Golkar di DKI Jakarta membuat merah muka para penguasa saat itu. Saya pernah membaca alasan yang sangat menggelikan yaitu karena dangdut dianggap bukan budaya nasional, bahkan menyuruh Pak Haji mengganti suara gendang dengan drum. Apakah musik Pop itu budaya Nasional, sehingga bisa bebas wara-wiri muncul di TVRI? Rhoma tetap tak bergeming, Soneta tetap eksis tanpa TVRI. Meskipun begitu Pak Haji sempat pula merilis Album Pop bertajuk Remaja dan Bulan dengan iringan Naviri Group.
Cover kaset album ini bergambar Pak Haji dan Rita S. berjaket kulit ketat saling menyandang guitar. Bagi yang jeli ternyata album ini diedarkan dengan dua macam gambar cover yang berbeda meskipun dengan nuansa dan pakaian yag sama.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHhEArwWBJCFx_ydg5nyYPLSttyfGnc25uPLcpJ7q8CvWt9UYYHcKK3NZO-jo79XvFW9LO-sSkjQWPL29hPwYs-vdDyvkSmPhswo3NC7jViwsffCGaRxfV8BGCCSqanpGtNX8M1iVQyUM/s200/soneta-vol-9-begadang-2.jpg
1. Begadang II (Rhoma Irama)
2. Bulan (Rita S.)
3. Terpaksa (Rhoma Irama)
4. Siapa (Rita S.)
5. Insya Allah (Rhoma Irama)
6. Tak Pernah (Rita S.)
7. Lelaki (Rhoma Irama)
8. Hayo (Rhoma Irama)
Sepertinya album ini dibuat berbarengan dengan Volume VIII, karena pada Volume VIII sudah tercatat lagu Hayo pada urutan terakhir tetapi dicoret dengan tinta hitam. Album ini bergambar foto Pak Haji saat tampil live show.

Soneta Vol-10 1980 Sahabat (Yukawi)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEkP3olqI2T3eZzBlKy_qWSyIA4TsZojpDrYXEx3by_KPr7lT-RXN25zx94uKkiP-iJlDiDVTVi7VSp61Sm1Awo-np5FM4EnYHaxXfv2mkduZv4FYHfEbPMJF_e4YCVaUmcxeUJm78s6k/s200/soneta-vol-10-sahabat.jpg
1. Sahabat (Rhoma Irama)
2. Buaya (Rita S.)
3. Tersesat (Rhoma Irama)
4. Tak Sabar (Rita S.)
5. Takwa (Rhoma Irama)
6. Srigala Berbulu Domba (Rita S.)
Ternyata revolusi belum berakhir. Lewat Album ini Soneta kembali membuktikan keunggulannya dalam meramu musik Rock-Dangdut yang disebut Pak Haji sebagai Dynamic Dangdut. Perubahan terlihat jelas pada pukulan gendang H. Afif yang kini dilengkapi drum. Juga raungan Hammond dan Farfisa-nya H. Riswan pada lagu tersesat.
Album ini merupakan album volume terakhir Rita S. bergabung dengan SONETA, dan untuk selanjutnya ber-solo karir mendirikan Jackta Group bersama suaminya Jacky Zimah dan melambungkan hits Jacky.
Album ini bergambar Pak Haji menyandang gitar dalam dua frame yang bersambungan.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhve_hBOVtsKaeON89pD5c5LZ5awxIP73JRRK0wDgBXQrYofdSNOq4IKu8hcg2W6QpiirsDB42UsMBHezP8zL295VWHPiKxbJzokECfQlaLiKjdYP7qBDzQZKzv43n-o-zwvn556yLFGMY/s200/Vol+X.jpg 

1. Indonesia (Rhoma Irama)
2. Sawan Kam Hina ((Rhoma Irama/Nandani)
3. Jangan Lagi (Nandani)
4. Takkan Lagi (Rhoma Irama)
5. Romantika (Rhoma Irama)
Album ini makin membuat merah telinga rezim korup Orde Baru. Korupsi dan kesenjangan sosial digarap habis-habisan pada lagu Indonesia. Sampai saat ini lagu Indonesia tetap aktual untuk dibawakan. “Yang kaya makin kaya… yang miskin makin miskin…” tetap terjadi sampai saat ini. Bisa dikatakan inilah lagu kritik sosial terbaik Pak Haji dan Soneta.
Untuk pertama kalinya album Soneta dimulai dengan sapaan Assalamualaykum kepada para penggemar. Album ini Pak Haji menggamit Nandani sebagai penyanyi tamu menggantikan Rita Sugiarto. Lagu Takkan Lagi diambil dari lagu film India yang berjudul sama yaitu Main Tulsi Tere Anggar Ki.
Untuk pertama kalinya pula side B diisi tetap dengan lagu-lagu Soneta setelah pada album-album sebelumnya Side B diisi oleh grup dangdut lain, seperti: Meggy Z, Ruston Nawawi, dll.
Album ini bercover foto Pak Haji berkaos kuning, menyandang gitar dengan latar bendera merah putih.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUcvj7LsOf4ITy9pmI9dJzD7y5l962e4V8M7OrXJg47qnsnQImR3fq5AhZes-O5LFTYZDhxYOuBSOM_1-mvkWSTSqI98Knqrck-UF4ezI1mVCxODY_E6_5xBx2miBDQqJfY9sJBKhNrVE/s200/Soneta+Volume+XXII.JPG
1. Setetes Air Hina (Rhoma Irama)
2. Sebujur Bangkai (Rhoma Irama)
3. Qur’an dan Koran (Rhoma Irama)
4. Citra Cinta (Rhoma Irama)
5. Adu Domba (Rhoma Irama)
Untuk pertama kalinya memakai judul album yang tidak ada dalam deretan lagu. Dibuka dengan intro musik layaknya pertunjukan panggung drama. Pada album ini terdengar sekali gaya pukulan gendang H. Afif yang sangat berbeda dengan pukulan gendang grup dangdut lainnya. Soneta makin ekspresif di album ini. Pemilihan judul album sangat sesuai dengan syair-syair lagu yang sangat sarat nilai dakwah.
Pada album ini ada beberapa bafian bass yang dimainkan oleh Lucy Angoman, bassist Soneta Girl karena kebetulan H. Popong cidera tangan.
Cover album ini mengambil gambar dari satu scene adegan lagu Bimbang dalam film Sebuah Pengorbanan.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXLH9HIFkWK3-zQtSPTgxnd02mrVSFe1-lFMWdnA_dJOVBrdu7MviqW5zV3zBiqD64OFglc7ZkVc2vIWxtTYVa269uyt4d65vbFdzkK-3Wo76jTxMvOsxoIigvELXI-GJWWnpT5Byoav8/s200/Soneta+Volume+XIII.JPG
1. Emansipasi Wanita? (Rhoma Irama)
2. Modern (Rhoma Irama)
3. Nasib Bunga (Noer Halimah)
4. Lagi-lagi Cinta (Rhoma Irama)
5. Nilai Sehat (Rhoma Irama)
Album ini merupakan album pertama yang diproduksi sendiri oleh Pak Haji di bawah label Soneta Record yang mengambil alih Yukawi karena sudah tidak aktif lagi. Album ini membawa pencerahan baru bagi musik Soneta. Pak Haji memasukkan Brass Section yang diisi oleh Dadi, Farid dan Yanto pada saxofone, alto sax dan trompet. Penyanyi wanitanya pun pendatang baru yang diperkenalkan langsung dalam album ini, yaitu Nur Halimah untuk membawakan lagu manis, Nasib Bunga.
Sayangnya album spektakuler ini harus terkena imbas peceraian Pak Haji dengan Ibu Veronica yang sempat membuat banyak penggemar kecewa, bahkan ada beberapa yang membakar koleksi kaset-kaset Sonetanya (tapi akhirnya pada nyesel tuh!).
Album ini sangat kaya dalam aransemen musik dan kuat dalam syair lagu-lagunya. Pak Haji mengangkat tema Emansipasi yang belum pernah diangkat oleh musisi Indonesia sampai saat ini. Saya paling suka syair lagu Nilai Sehat, maknanya dalam sekali. Album ini sempat dirilis ulang tetapi dengan mengangkat lagu Modern sebagai judul utamanya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPAFtwaAa1A0INHE330OxCoEH11HTEEhRRMSpmjSLyPRVK0-eaN1Rbm_oN9dXm6dLmVWQLr_h5v9LfSVRPYOKoyoNZAZjzl15Q9PXso4WdIb2sR7EPgn8B96WSySBPrTv8hea05yA701s/s200/Soneta+Volume+XIV.JPG
1. Judi (Rhoma Irama)
2. Dasi dan Gincu (Rhoma Irama/Riza Umami)
3. Penyakit Cinta (Riza Umami)
4. Hatimu Hatiku (Rhoma Irama/Riza Umami)
5. Roda Kehidupan (Rhoma Irama)
6. Harga Diri (Rhoma Irama)
Album ini adalah pecahan album soundtrack film Nada-nada Rindu yang keseluruhan berisi 8 lagu dan mungkin atas perhitungan bisnis dibagi menjadi dua album. Sejatinya album ini hanya berisi 2 lagu yang bukan soundtrack film yaitu Penyakit Cinta dan Harga Diri. Untuk album ini Pak Haji kembali menggamit Riza Umami pada vokal pendamping. Memang secara power suara Riza Umami lebih kuat dibanding Nur Halimah yang sangat cocok untuk lagu-lagu slow/lembut.
Lagu Judi menjadi titik awal kemunculan kembali Soneta di TVRI setelah dicekal selama 11 tahun, sejak tahun 1977. Lagu Judi muncul pertama kali di TVRI pada tanggal 8 Mei 1988 pada acara Kamera Ria.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmwwyjI3QG19QLdjhEW3fP9T51DMN44P4thlpegi4tjCd29qe8FUNrdeDi_ObOjGdy2R5pMAO2VUzs2b3V5T4l7I8i_549ljywWH8TGlaNDEQ9mYNu031PqF41n5XZ2K3cSobqRA6KwGU/s200/Trisna+B.S+II.jpg
1. Gali Lobang Tutup Lobang (Rhoma Irama)
2. Ibu Kota (Rhoma Irama)
3. 1001 macam (Rhoma Irama)
4. Tergila-gila (Noer Halimah)
5. Masa depan (Rhoma Irama)
Walaupun sudah boleh muncul lagi di TV, tetapi album ini tidak pernah dipromosikan di tv, oleh karena itu tidak ada video klip album ini.
Album ini merupakan album terakhir bagi H. Wempy (rhythm guitar), salah seorang anggota awal Soneta yang mengundurkan diri dan kemudian membentuk OM. Rohata yang sempat melambungkan nama Ayu Soraya lewat album Cinta Berpayung Bulan. Selanjutnya posisi rhythm guitar diisi oleh Lukman.
Cover albumnya Pak Haji berjaket kulit coklat berselempang gitar.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY0noZ1tcCyAzhgHsE55okZiwloEPTly9Rjw57y48H02gIUj_vQQWCzgXP8ZADro7_53Wo_Gck45qsAaRwgf5sNsXKkltzlfBSALIT_by6zGmn-Hy1o72dPYg9e5TABHPPDtl98T8InCc/s200/Trisna+B.S.jpg
1. Bujangan (Rhoma Irama)
2. Terserah Kita (Rhoma Irama)
3. Janji itu Hutang (Noer Halimah)
4. Pesta Pasti Berakhir (Rhoma Irama)
5. Bencana (Rhoma Irama)
Album ini boleh dikatakan sebagai mini album, karena side A dan side B hanya berisi 5 lagu tersebut (3 di side A dan 2 di side B). Untuk promosi di tv ditampilkan lagu Bujangan yang di-shoot di Studio Soneta Record.
Lagu Pesta Pasti Berakhir sempat dipromosikan pada acara Titian Muhibah kerjsama TVRI dan RTM Malaysia. Cover album bergambar close-up wajah Pak Haji tanpa guitarnya.
Inilah album terakhir Rhoma Irama dan Soneta yang berisi sedikitnya 5 lagu baru, karena selanjutnya dan sampai saat ini Pak Haji hanya merilis album-album single yang hanya berisi 1 lagu baru dan selebihnya lagu-lagu yang sudah pernah dirilis sebelumnya.
BERSUMBER: http://myquran.com/forum/archive/index.php/t-13218.html

Jumat, 06 Mei 2011

Nasib Perjaka Tua Yang Tak Bisa Menjaga Lidah.

Dan aku merasakan baru kali ini berjumpa seorang yang berpendidikan sepertinya terpelajar, tapi cara berpikirnya seperti bocah yang baru pandai bicara (belajar ngomong) . Dan akhlaknya sungguh rendah sekali yang yang tak pantas di ucapkan mungkin hanya Allah yang bisa merubah segala sifatnya. Pantaslah kalao orang tersebut yang umurnya sudah melampui batas  (40 thn) tapi belum juga mendapat jodoh karena dari perbuatannya atau mungkin HUKUM KARMA yang berlaku di dunia ini. Dan untuk itu jagalah lidah, karena orang yang mampu menjaga lidah, berarti dialah orang yang akan mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat.
Betapa hebatnya orang yang mampu menjaga lidah. Sampai" dikatakan dalam sebuah hadith bahwa orang yang menjag lidahnya, mampu mengalahkan syaithan. "Simpanlah lidahmu kecuali untu kebaikan, karena sesungguhnya dengan demikian, kamu dapat mengalahkan syaithan."(HR. Thabrani).

strifX engga laku laku

Bujang kolot = umur geus kolot, tapi can boga pamajikan.

Minggu, 24 April 2011

NIKAHI GADIS 19 TAHUN

Raja Dangdut Rhoma Irama, diam-diam punya istri muda di Solo bernama Gita. Dari perkawinan mereka yang kabarnya siri itu, lahir seorang anak laki-laki yang kini berumur 3 tahun. Bagaimana kisah cinta mereka? Inilah hasil investigasi Nyata di Solo.
KABAR yang menyebut Rhoma Irama telah menikah lagi itu muncul sebulan lalu. Tidak jelas siapa yang membocorkannya. Yang pasti, istri baru Rhoma berasal dari Solo, Jawa Tengah dan tinggal di dekat pondok Al-Ahad, Solo.
Putri Solo itu diketahui bernama Gita. Sejak kecil Gita diasuh oleh Amrul Choiri, pemilik Pondok Asuhan Yatim dan Terlantar, Pesantren Terbuka Al-Ahad, Solo.
Ketika menikah dengan Rhoma, Gita baru berusia 19 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Pertemuan Rhoma dan Gita terjadi ketika Amrul Choiri, dosen agama Islam di kampus itu mengadakan pengajian di Salatiga, Jawa Tengah dengan mengundang Rhoma Irama.
Kebetulan salah satu panitianya adalah Gita. Wanita peranakan Arab itu rupanya membuat 'Satria Bergitar' jatuh cinta. Rhoma lantas ‘mengendus’ siapa cewek itu. Ternyata Gita adalah anak asuh Amrul Choiri.
Di pondok yang tidak terlalu besar itulah Gita dibesarkan, hingga jadi mahasiswi UMS, tempat Amrul mengajar. Sejak kenal dengan Gita, Rhoma jadi sering bolak-balik Jakarta-Solo. Untuk apa lagi kalau bukan dalam rangka 'apel' ke Gita.
Singkat cerita, tahun 1999, mereka menikah. Amrul Choiri, bertindak sebagai wali mempelai perempuan. Sedangkan saksinya adalah Syamsul, sahabat Amrul.
Berbekal informasi di atas, Ahsan Andi Husain dari Nyata meluncur ke Solo dengan sasaran, Pondok Pesantren Terbuka Al-Ahad, Solo.
Tidak terlalu sulit menemukan alamat itu. Pondok itu terletak di Jalan Tambora Tengah No 7, Mojosongo, Solo. Ketika Nyata sampai di Al-Ahad, seorang lelaki paruh baya sedang bersiap-siap berangkat kerja dengan mendorong sepeda motornya. Begitu Nyata memberi salam, lelaki itu langsung menyambut hangat. “Silakan masuk,” katanya.
Dari perkenalan itu, Nyata tahu lelaki tadi adalah Amrul Choiri. Setelah berbincang-bincang sejenak, Amrul tiba-tiba terkejut, mukanya merah, tatkala mendengar Nyata menceritakan berita tentang perkawinan Rhoma, dengan anak asuh nya, Gita. “Kok tahu? Sebenarnya itu urusan pribadi mereka, saya tidak mau terlalu banyak ikut campur,” kata Amrul. Dari ekspresinya, nampak kalau Amrul tidak siap menerima kenyataan bahwa ‘rahasia’ itu telah bocor.
“Ini berkaitan dengan masalah keluarga. Saya ndak punya wewenang untuk bicara tentang keluarga Pak Haji (Rhoma Irama) dalam hal apapun. Ndak enak saya kalau banyak bicara. Kenapa tidak langsung tanya saja sama Pak Haji,” lanjut Amrul ketika menerima Nyata didampingi istrinya.
Tapi Bapak kenal dengan Gita, kan? “Kenal dengan Gita?,” ujar Amrul balik bertanya. “Istilahnya murid ngaji,” lanjut Amrul. “Pernah, pernah ngaji dengan saya,” imbuh istrinya. “Dulu-dulunya Gita pernah tinggal di sini,” kata Amrul lagi.
Saat ini, kata Amrul Gita sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. “Sekarang di Jakarta, kadang-kadang di Semarang,” kata Amrul.
Gita ikut Bapak sejak umur berapa? “Bukan ikut lho ya! Ngaji! Ini kan TPA,” sahut istri Amrul. “Jadi Cuma ikut-ikut ngaji, ndak tidur di sini,” tambah istri Amrul.
Amrul menambahkan bahwa Gita ikut di pengajian itu sejak duduk di kelas satu sampai SMP. Orangtua Gita dua-duanya sudah meninggal. Sehingga Gita sempat beberapa tahun ikut kakaknya. Sayang, Nyata tidak mendapatkan alamat kakak kandung Gita itu.
Anda kenal dekat dengan Bang Haji? “Kalau kenalnya sih, oh ya dekat. Tapi kalau berkaitan dengan hal-hal keluarga saya nggak bisa terlalu jauh. Karena saya ndak diberi wewenang untuk berbicara. Saya sendiri belum sempat menanyakan, dia kan orang sibuk banyak ke luar negeri,” jelasnya.

Penasaran

Amrul menegaskan bahwa dirinya sudah kenal Rhoma sejak delapan tahun silam. Sebagai gambaran kedekatan Rhoma dengan Amrul, setiap kali ada acara di Solo dan sekitarnya, biasanya Amrullah yang mengundang.
Kalau berada di Solo, Rhoma selalu menyempatkan diri menemui Amrul.
“Kalau sering sih ya ndak. Sekian hari atau sekian minggu. Ndak selalu ketemu juga, dia kan orangnya sibuk,” tukasnya.
Pak Amrul sendiri tahu, hubungan Bang Haji dengan Gita? “Tahu sih tahu, Cuma saya ndak berwenang ngasih tahu,” jawabnya.
Katanya, Bang Haji kenal Gita lewat Bapak? “Ndak juga,” jawabnya singkat. Katanya mereka kenal waktu ada pengajian di Salatiga? “Nah, itu yang saya ndak ngikutin. Itu yang saya ndak mengerti,” kata pria berperawakan pendek ini dengan aksen Jawa yang kental.
Meski membenarkan Rhoma dan Gita sudah menikah, Amrul masih berusaha menyembunyikan keberadaan anak asuhnya itu. “Gitanya ndak disini, di Jakarta kadang-kadang di Semarang,” katanya.
Menurut Amrul, dulu Gita memang tinggal di Solo, tapi sekarang sudah pindah. Mengetahui Nyata tahu banyak tentang hubungan Rhoma dan Gita, Amrul tampak penasaran sekali, berkali-kali dia menanyakan dari mana datangnya kabar itu. “Kok bisa tahu. Tahu (kenal) saya dari siapa?” tanya Amrul, penasaran.
Tapi benar Pak, Gita sudah punya umur tiga tahun? “Ndak tahu saya. Ndak tahu saya umurnya berapa,” jawabnya terbata-bata. Anaknya dari Bang Haji ya, Pak? “Ya…, bapak tahu dari mana?” kata Amrul, balik bertanya, masih dengan wajah tegang. “Sekali lagi saya ndak punya wewenang ngasih jawaban,” katanya.
Menurut Amrul, biasanya Gita dan Rhoma rutin dalang ke rumahnya setiap kali Lebaran. Lebaran terakhir, tahun 2001 lalu, Rhoma dan Gita juga datang menjenguknya.
Nikahnya di sini (di rumah Amrul) ya Pak ? “Ndak, ndak di sini, Maksudnya di Solo ? “Ndak, ndak tah,” jawabnya semakin terbata-bata.
Di Jakarta atau Semarang? “Ndak, ndak tahu. Jadi ndak begitu tahu masalah itu, gitu lho,” timpal istri Amrul.
“Hal-hal yang berkaitan dengan keluarga Pak Haji, saya ndak bisa menginformasikan. Andaikan saja saya tahu hal kecil saja sedikit pun, saya ndak bisa menginformasikan. Itu adalah hak dan wewenang Pak Haji sendiri. Nanti saya bisa salah. Kalau saya dikasih wewenang, itu mungkin saya bisa. Nanti kalau saya ketemu akan saya tanyakan dulu,” kata Amrul, sambil minta maaf tak bisa membeberi banyak informasi. -

Dihadiahi Sebuah Rumah Mewah

SEBAGAI bukti cinta Rhoma terhadap Gita dan anak semata wayangnya, Rhoma membangun sebuah rumah mewah berarsitektur paduan Jawa-Eropa di kawasan Donohudan, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah. Rumah itu terletak tidak jauh dari Asrama Haji Boyolali.
Ketika Nyata mengunjungi tempat itu Kamis (4/4) pagar rumah itu pun dalam keadaan tertutup. Sebelum masuk kawasan itu, Nyata sempat menanyakan kepada sekumpulan orang-orang yang istirahat di sebuah gardu di pinggir sawah. Saat menyebut nama Gita, tak seorang pun yang tahu.
Namun begitu Nyata menyebut nama Rhoma Irama, mereka seakan berebut menunjukkan arah rumah itu. “Oh, Omahe Oma Irama (Oh, rumahnya Oma Irama),” kata beberapa dari mereka, sambil menunjuk arah jalan. Beruntung, meskipun pagar rumah itu tertutup, tapi tidak terkunci. Dari luar tidak tampak ada penghuni. Nyata mencoba masuk dan menemui beberapa pekerja yang sedang membersihkan bagian dalam rumah itu.
Awalnya, tukang-tukang itu menolak kehadiran Nyata karena tidak membaut janji dengan Gita. (Catatan webmaster: Jangan dikira kami yang salah, memang tabloidnya menulis “membaut,” bukan “membuat.”) Tapi karena sudah terlanjur masuk, mereka akhirnya diam.
Di rumah itu, Nyata ditemui Sahlan, orang kepercayaan Gita dan Rhoma.
Sahlan tinggal di sebelah kanan rumah yang didominasi warna hijau muda dan kuning muda itu.
Dari Sahlan inilah, Gita membeli tanah seluas 830 meter persegi yang kemudian dijadikan ‘istana’. Saya hanya perantara. Tanah ini bukan atas nama Pak Haji tapi atas nama Bu Gita,” kata pria paruh baya itu.
Berbeda dengan apa yang disebut oleh Amrul, Sahkan mengatakan bahwa Gita baru kemarin Rabu (3/4) datang melihat rumahnya. Bahkan kata Sahlan, beberapa kali Gita ditemani Rhoma. “Tapi saya ndak pernah ketemu Pak Haji,” ujarnya.
Sahlan tampaknya tahu banyak hubungan Gita dan Rhoma. Sahlan membenarkan bahwa usia anak hasil perkawinan Rhoma dan Gita saat ini berumur tiga tahun. Kata Sahlan, Gita dan Rhoma belum melapor ke ketua RT akan tinggal di rumah itu. “Belum, mungkin nanti kalau sudah mau ditepati,” katanya.
Sahlan memang diberi mandat oleh Gita dan Pak Haji untuk menjaga rumah itu supaya tidak dimasuki sembarangan orang.
Dari salah satu tukang yang bekerja di rumah itu, Nyata memperoleh informasi bahwa Gita tinggal di rumah Amrul Choiri. Alamat yang ditunjukkan oleh tukang yang mendapat tugas memasang wallpaper itu sama persis dengan alamat Amrul. “Wong, saya barusan ke sana kok,” katanya.
“Tapi yang saya tahu kayaknya Pak Haji lagi di sini (Solo), makanya Bu Gita hari ini ndak datang. Saya tahu kok,” katanya. Keesokan paginya, Nyata datang lagi ke tempat Amrul Choiri, namun tidak tampak ada siapa-siapa. Begitu juga di rumah barunya, hanya ada tukang.

Tidak ramah lagi

Ketika Nyata datang untuk kali kedua di rumah Gita, pagar rumah itu lagi-lagi tidak terkunci. Seperti ketika kedatangan Nyata pertama, Sahlan muncul lagi. Namun kali ini wajah Sahlan tidak ramah lagi.
Lewat salah satu tukang, Sahlan menyuruh Nyata pergi. Usai dari rumah Gita, Nyata sempat beberapa kali mencoba menghubungi Gita lewat telepon selulernya, namun hanya dijawab oleh mesin. ‘Nomor yang anda tuju, untuk sementara tidak bisa dihubungi’.
Ketika Nyata mengontak rumah Amrul dan mencari Gita, oleh istri Amrul dijawab salah sambung. Lantas di manakah Rhoma? Di mana pula Gita?
Dihubungi terpisah, Rica Rachim, istri pertama (ketiga - webmaster) Rhoma bilang bahwa Rhoma pergi ke Jepang (baca bagian lain tulisan ini). Tapi mengapa pekerja tadi mengatakan Raja Dangdut itu di Solo? - ahsan

Rica Rachim: “Di Rumah Dia Suami Saya. Di Luar...”

BEGITU KABAR pernikahan Rhoma dikonfirmasikan, Jum'at (5/4), Rica langsung menyahut, “Oh ya? Kapan ia menikah? Kok, saya nggak tahu, ya?”
Rica menandaskan, bukan kewenangannya menjelaskan soal itu. “Saya bukan orang yang tepat untuk memberi jawaban. Tanya aja langsung ke Rhoma. Sekarang Rhoma lagi di Jepang. Nanti aja bicara dengan dia,” imbuh Rica yang menikah dengan Rhoma 16 tahun silam itu.
Menurut Rica, Rhoma ke Jepang sejak Rabu (2/4) dalam upaya menjajaki rekaman dengan sebuah perusahaan rekaman di Jepang. Rica memperkirakan suaminya di Jepang sekitar 4 sampai 5 hari. “Paling lama satu minggu,” tegas wanita kelahiran Bandung 16 April 1956 itu.
Anda pernah mendengar kabar pernikahan Rhoma dengan putri Solo? “Saya nggak mau bicara itu,” jawabnya singkat.
“Kayaknya sejak saya menikah gosip tentang saya nggak pernah putus. Ada apa ya? ” tanya Rica.
Meski kerap diterpa gosip keras, Rica berusaha tidak terpancing. Ia lebih suka meresponnya dengan diam. “Terserah apa kata orang. Yang jelas, tidak ada apa-apa dengan pernikahan saya. Saya tidak mau terganggu gosip. Saya tidak terpengaruh,” ungkap Rica yang kini mengisi hari-harinya dengan melukis itu.
Apakah ada pihak ketiga yang sengaja menghembuskan gosip itu? Rica menjawab bahwa kemungkinan itu ada.
“Tapi saya tidak punya keinginan untuk mengetahuinya lebih jauh. Itu membuang waktu. Saya tidak mau stres. Entah apa kata orang, biarin aja,” ujar Rica sambil melepas tawa.
Rica menduga, gosip itu dimunculkan karena dirinya jarang tampil berdua dengan Rhoma. “Sikap saling percaya dan saling menghormati adalah kunci yang kami jalankan. Jadi, saya nggak merasa terganggu dengan gosip itu,” tegas Rica.
Rica menegaskan, pasangan yang selalu terlihat rukun dan selalu tampak berdua di berbagai acara tidak menjamin perkawinan adem ayem. “Prinsip hidup saya. Di rumah dia suami saya. Ketika dia melangkah keluar, saya memberi kebebasan,” ujar Rica. - syukri

BERSUMBER: Dari Tabloid Nyata Edisi 1606/III, April 2002

kenangan didalam Bemo dari OM. PANCARAN MUDA


Group dari Om. Pancaran Muda dengan penyanyi Oma Irama, Titing Yenny, Najo Maimunah

OM. EL-SITARA penyanyi RHOMA IRAMA&ELLYA KHADAM

Album yang terbaik dari Rhoma Irama dan Ellya Khadam dengan Om. El-Sitara
1. In Dan Dip – Elyya K & Oma Irama
2. Si Tua Keladi – Elyya Khadam
3. Peristiwa Malam PertamaOma Irama
4. Peristiwa Malam Pertama – Ellya Khadam
5. Surat Palsu – Elyya K & Oma Irama
6. Bertemu Kembali – Ellya Khadam
7. Uang Belanja – Ellya K & Oma Irama
8. Telah mempunyai – Ellya Khadam
9. Masa Bodoh – Ellya & Oma Irama
10. Auku Tak Percaya – Ellya Khadam
11. Bim SalabaimOma Orama
12. Baru Aku Tahu – Ellya Khadam
DONWLOAD disini aja.....dibawah Coy
Download disini

Rabu, 06 April 2011

Rhoma Irama album tukang ramal bersama OM. El Sitara


1.    Tukang Ramal – Oma I & Ellya Khadam
2.    Malam Pengantin – Ellya Khadam
3.    Suratmu – Oma Irama
4.    Percayalah – Oma I & Ellya Khadam
5.    Sungguh Kejam – Ellya Khadam
6.    Sepatu Baru – Noor Farida
7.    Menang Lomba Joget – Oma I & Ellya Khadam
8.    Bunga dan Doa – Oma Irama
9.    Kebimbangan – Ellya Khadam
10.  Hanya Satu Kupinta – Oma I & Ellya Khadam
11.  Deritaku – Ellya Khadam
12.  Malam Gembira – Ellya Khadam
BERSUMBER: http://dendang-melayu.blogspot.com/2010_11_02_archive.html

Lagu Pertama Rhoma Irama Ingkar Janji pada tahun 1968


Foto minaba-info.blogsp
Setelah menyanyikan lagu Ingkar Janji OM Chandraleka bersama pimpinan Hussein Bawafie, Tahun 1968 Oma bergabung dengan Orkes Melayu Purnama, pimpinan Awab Abdullah. Belum puas, ia pun pindah ke orkes melayu Pancaran Muda pimpinan Zakaria yang merekam suaranya lewat lagu Di Dalam Bemo karya Zakaria berduet dengan Titing Yani. 
Dan sampai awal dekade 1970-an namanya masih tetap belum dikenal masyarakat. "Ia masih berada di bawah bayang-bayang Muchsin Alatas," kenang Zakaria.
Namun nasib Oma Irama mulai berubah ketika rekamannya Bina Ria (bersama OM Purnama, 1971) berhasil menduduki tempat pertama dalam deretan lagu-lagu Melayu.
Sedikit demi sedikit (tapi pasti) namanya mulai menanjak naik. "Itulah sebabnya kemudian saya berketetapan hati membawakan lagu-lagu Melayu", ujar Oma
Namun begitu setelah terjun ke dunia musik melayu, Rhoma akhirnya ikut terbawa arus. Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma pun diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.
Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi, sampai Melati di Musim Kemarau.
Berikutnya walau termasuk “anak baru” , duet Rhoma-Inneke sukses menjadi pusat perhatian diantara duet-duet lainnya seperti duet Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani-Benyamin Sueb. Bahkan munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat “menggoyang singgasana” kepopuleran Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.
Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakannya yang khas, yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13 Oktober 1970. 
foto Soneta Fans Club Facebook
Keberhasilannya berduet dengan Inneke, membuat Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan hasilnya pun duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi juara.
Hal ini menunjukkan kecintaan Rhoma terhadap musik pop tetap ada. Dan memang tidak sia-sia, tahun 1972 Rhoma mewakili vestifal pop Asia Tenggara di Singapura, Luar biasa memang, Rhoma juara di festival itu.
BERSUMBER DARI: http://biografirhoma.blogspot.com/2010/12/gonta-ganti-orkes.html

RHOMA IRAMA bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.

Musik pop dan rock ternyata adalah langkah pertama RHOMA IRAMA sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan Benny Mucharam, abang kandungnya, bahwa OMA (sebelum menjadi RHOMA = RADEN HAJI OMA) sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967. Meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes Melayu.
Rhoma yang pandai bermain gitar dan bersuara merdu sangat disukai kawan-kawannya jika dia menyanyi di bawah pohon pinggir Jalan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Di samping menjadi penyanyi Orkes Melayu Chandraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.

Bersama band-band itu dia membawakan lagu-lagu pop Barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu Diana atau Put Your Head on My Shoulder, Andy Williams (Butterfly, Moon River), serta Tom Jones (Green Green Grass of Home, Delilah).

Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya dia membentuk Band Gayhand. Musik kelihatannya sudah menjadi pilihannya hingga kuliah di Universitas 17 Agustus tidak diteruskannya. Musik rock n’ roll yang melanda Indonesia waktu itu membuat pemuda kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, ini terpesona hingga dalam hatinya dia bertekad, "Elvis bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa".

Namun, begitu berada di dalam industri musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru cara menyanyi Ida Royani-Benyamin S atau Titiek Shandora dan Muchsin yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaja dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.

Diiringi BAND ZAENAL COMBO pimpinan Zaenal Arifin, Oma-Inneke direkam dalam sejumlah lagu, seperti Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu Kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat Dekat, Anaknja Lima, Si Oteh, Lontjeng Berbunji, Melati di Musim Kemarau, dan Tjinta Buta.

Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknja Lima, dibawakan duet ini, munculnya pasangan Oma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Titiek Shandora dan Muchsin. Kebiasaan Rhoma meniru suara sejumlah penyanyi Barat membuatnya dengan mudah meniru gaya menyanyi Muchsin dan Benyamin.

Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, Zakaria kemudian menyarankan Oma juga berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura tahun 1971. Oma-Wiwiek berhasil menjadi juara.

Penyanyi-penyanyi duet memang sedang menjadi mode industri musik awal tahun 1970-an. Dalam acara Panggung Gembira Hari Radio Ke-26 di halaman Gedung RRI, Medan Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Oma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi duet lainnya, seperti Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez, dan Ida Royani-Benyamin S.

Duet Oma-Inneke juga diiringi Band Galaxy pimpinan Jopie Item dalam rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Oma menyanyi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskan Oma setelah mendirikan Soneta, misalnya, dalam lagu Mari Gembira meniru seruan yang biasa dilakukan penyanyi rock di luar syair lagu, "Ach … uh… wuuuuuaaaaw... mari kawan kita gembira, jangan pikir hati yang duka, yang membawa bencana bila kau pikirkan juga, baik dengarkan aku bernyanyi demi mengobati rasa hati…".

PERGAULAN Rhoma dengan pemusik pop dan rock juga yang mempertemukannya dengan pemimpin band perempuan Beach Girls, VERONICA AGUSTINA TIMBULENG. Duet Rhoma dan Veronica yang dimulai tahun 1972 menghasilkan tiga anak, yaitu DEBBIE VERAMASARI (33), FIKRI ZULFIKAR (29), dan ROMY SYAHRIAL (28).

Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie, mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli dan Yoan dengan Si Kodok pada tahun 1976.
Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta, Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dan menyuntikkan musik rock dalam album dangdutnya yang pertama berjudul BEGADANG, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulutkan pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis.

Ujung-ujungnya diadakan diskusi "Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut" di Gedung Merdeka Bandung akhir Juni 1976 dengan Maman S dari majalah AKTUIL sebagai penyelenggara dan menghadirkan pembicara Dr Sudjoko dari ITB, Remy Sylado, Benny Subarja, dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma Irama yang tidak hadir. Achmad Albar dan Harry Roesli yang diundang juga tidak kelihatan.

Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado.
Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, 22 Desember 1977, dengan maksud melihat yang mana lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan burung dara putih sebagai tanda perdamaian.

Bercampurnya musik rock dengan berbagai jenis musik sebenarnya hal biasa, sebagaimana terjadi dengan jazz, musik klasik, atau bahkan lagu-lagu rohani Kristiani.

Menurut Krishna Sen dan Davil T Hill dalam bukunya Media, Budaya dan Politik di Indonesia yang terbit tahun 2000, "Sesungguhnya, popularitasnya yang bertahan sebagian disebabkan karena karakter hibridnya (mudah dicangkokkan ke jenis musik apa pun).

Dengan sifat ini dangdut terus-menerus menggabungkan dan melakukan sintesa dengan genre musik lain, termasuk yang mungkin menjadi pesaing di berbagai golongan pasar Indonesia. Banyak bentuk musik populer daerah telah menelurkan berbagai varian dangdut seperti ’dangdut Sunda’ dan ’dangdut Jawa’. Demikian juga genre musik impor. Pada tahun 1980-an ada ’disko dangdut’. Tahun 1996, album Remix Dangdut House Mania sedang ngetop, saat dangdut menyesuaikan diri ke jenis musik internasional yang sedang trendi, yaitu house music".

Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora itu juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi, album-album rekamannya yang semakin ngerock mengalir tanpa dapat dibendung, bahkan oleh Pemerintah Orde Baru yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya, TVRI.

Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang, setelah BEGADANG menjadi sangat populer, menyusul PENASARAN (1976), RUPIAH (1976), DARAH MUDA (1977), MUSIK (1977), 135 JUTA (1978), SANTAI (1979), HAK AZAZI (1980), BEGADANG II (1981), SAHABAT (1982), hingga INDONESIA (1983), yang semuanya diproduksi YUKAWI CORPORATION. Perusahaan rekaman ini kemudian menjadi SONETA RECORDS, milik Rhoma.

Dengan keberhasilan Rhoma itu, tidak salah apa yang dikatakan Marshall McLuhan dalam Understanding Media-Extensions of Man, "The hybrid or the meeting of two media is a moment of truth and revelation from which new form is born". (Hibrida atau pertemuan dua media adalah masa yang menentukan dan menginspirasi lahirnya sebuah bentuk baru).

LANGKAH Rhoma semakin tegap. Film-filmnya OMA IRAMA PENASARAN (1976), GITAR TUA OMA IRAMA (1977), DARAH MUDA (1977), RHOMA IRAMA BERKELANA I (1978), RHOMA IRAMA BERKELANA II (1978), BEGADANG (1978), RAJA DANGDUT (1978), CINTA SEGITIGA (1979), CAMELIA (1979), PERJUANGAN DAN DOA (1980), MELODY CINTA RHOMA IRAMA (1980), BADAI DIAWAL BAHAGIA (1981), SATRIA BERGITAR (1984), CINTA KEMBAR (1984), PENGABDIAN (1985), KEMILAU CINTA DI LANGIT JINGGA (1985), MENGGAPAI MATAHARI I (1986), MENGGAPAI MATAHARI II (1986), NADA-NADA RINDU (1987), BUNGA DESA (1988), JAKASWARA (1990), NADA DAN DAKWAH (1991), serta TAKBIR BIRU (1994) diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis.

Dalam Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng UCOK HARAHAP, yang bersama grup rock AKA-nya pernah bertarung dengan Soneta di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.

"Secara terus terang saya mau katakan bahwa Oma Irama adalah seorang seniman musik yang menarik. Coba saja kita perhatikan, bagaimana dia membangun musik dangdut dengan warna lain daripada yang lain. Dia berani melangkah untuk mencari variasi dan pembaruan dalam musiknya," kata Ucok ketika saling membagi nasi tumpeng dengan Rhoma dalam acara selamatan dimulainya produksi film itu akhir November 1977.

Film-filmnya Rhoma tidak salah jika dikatakan sebagai film musik rock bernapas Islam yang pertama di dunia. Terutama Perjuangan dan Doa, yang mengisahkan perjalanan Rhoma dan Orkes Melayu Sonetanya ke berbagai daerah sambil berdakwah. Tujuh lagu yang dalam film ini semakin meyakinkan Rhoma bahwa dengan dangdut-rocknya, dia juga bisa menjalankan misi agama.

Meskipun, lagi-lagi, Rhoma diterpa berbagai komentar yang tidak setuju dengan langkahnya, seperti yang diberitakan harian TERBIT, 16 Juli 1980: "Yang berpendapat misi dakwah melalui musik dan film seperti yang telah ditampilkan H Rhoma Irama sebagai tindakan yang tidak terpuji, karena masyarakat menilai Rhoma lebih condong pada komersialisme disamping penampilan Rhoma tidak ubahnya seperti Elvis Presley, seniman penyanyi barat".

Elvis memang menjadi King of Rock ’n Roll dan Rhoma yang merespons musik rock dengan baik menjadi Raja Dangdut dengan penyanyi-penyanyi dangdut lain sebagai hulubalangnya.



BEGADANG BOLEH SAJA, ASAL ADA.......
Rhoma irama lahir tahun 1947. Tahun 1968 menyanyi untuk Om Purnama dan bertemu Elvy Sukaesih. Tahun 1969 diajak rekaman oleh Om Chandralela, yang membuatnya menanjak. Tahun 1976 pecah dari Elvy.

Nyonya Tuti Burda senang musik. Kalau tak ada pertunjukan, yang selalu hampir tak dilewatkannya, di rumahnya di Tasikmalaya ia tak pernah absen menikmati musik dari radio. Suaminya, seorang perwira pertama TNI AD, lebih suka sandiwara. Bahkan ia memimpin grup kesenian Sunda Lutung Kasarung. Tapi juga suka lagu Cianjuran. Suatu malam, 9 tahun yang lalu, mereka nonton rombongan sandiwara Irama Baru. Pulangnya perut sang nyonya bergejolak. Maklum sudah 9 bulan mengandung. Beberapa jam kemudian lahirlah anaknya yang kedua, lelaki. Mereka sepakat memberinya nama Irama, seperti nama grup yang barusan ditonton. Sejak kecil mendapat julukan Oma, umur 17 tahun anak itu hampir saja meninggal karena sakit perut. Sekarang ia bernama Oma Irama. Siapa yang belum mendengar nama biduan "dangdut" yang terkenal itu?

Dari seluruh anak-anak nyonya Tuti Burda (yang suaminya kini sudah almarhum tapi ke-12 anaknya masih utuh), hanya 2 orang yang mewarisi 'darah seni' orang tuanya. Selain Oma Irama adalah Anna Bahfen, anak ke-5, biduanita Orkes Melayu Chandralela. Awal perjalanan karir Oma sendiri dimulai dari iseng-iseng nyanyi di hawah pohon sawo di kampung Bukitduri atau di tepi jalan Tebet Utara. Suaranya lantang. Iringannya cuma gitar dan tepukan tangan atau pukulan bangku kawan-kawannya. Beberapa waktu kemudian ia menyanyi untuk sebuah orkes melayu di kampungnya. Tapi di luar ia bergabung dengan band anak-anak muda Tebet seperti Tornado atau Varia Irama Melody. Itu ketika ia masih duduk di bangku SMP dan kemudian SMA, 1960.

Justru karena begitu getol nyanyi itulah, sekolahnya agak berantakan. Konon juga karena faktor ekonomi yang tak mengizinkan, di SLA ia pernah pindah sekolah sampai 4 kali: negeri, Kristen, bersubsidi. Kuliahnya di Fakultas Sospol Untag pun hanya sempat diikutinya selama setahun. Ia memang pernah punya cita-cita lain. Bahkan almarhum ayahnya dulu pernah menginginkan Oma menjadi dokter. Kini ia sukses sebagai penyanyi. Pernah tertarik lagu-lagu Beatles, ia masuk band The Gay Hand. Ketika itu bahkan ia merasa mampu menirukan gaya penyanyi-penyanyi Barat yang terkenal seperti Paul Anka, Tom Jones atau Andy Williams.

Namun kawan-kawannya lebih sering mendorong-dorongnya membawakan lagu-lagu India atau Melayu. Tahun 1968 ia menyanyi untuk Om Purnama. Di sinilah ia bertemu dengan Elvy Sukaesih, pasangan duetnya yang awet sampai tahun kemarin. Melihat kemampuan itu, tahun berikutnya Hussein Bawafie pemimpin OM Chandralela, mengajaknya rekaman. Ia menyanyikan lagu Ingkar Janji. Dua tahun kemudian nasib Oma Irama mulai berubah. Ketika rekamannya Bina Ria (bersama OM Purnama, 1971) berhasil menduduki tempat pertama dalam deretan lagu-lagu Melayu, sedikit demi sedikit (tapi pasti) namanya mulai menanjak naik. "Itulah sebabnya kemudian saya berketetapan hati membawakan lagu-lagu Melayu", ujarnya 2 pekan lewat di rumahnya kawasan Kebonbaru Tebet Timur.

Mengaku "rumah ini hadiah dari PT Yukawi", tempat tinggal Oma Irama ini tak begitu jauh dari perumahan pelawak-pelawak Eddy Sud dan Ateng, penyanyi Muchsin-Titiek Sandhora dan pembawa acara Krisbiantoro. Bangunan mewah yang berdiri di atas tanah tak kurang dari 400 meter peregi itu kabarnya berharga sekitar Rp 27 juta. Kecuali kolam yang indah, ada pula ruangan khusus tempat latihan OM Soneta. Juga sebuah garasi yang dihuni sebuah VW kodok biru telur bertuliskan "Dunk Doel" di kaca depannya. Selain peralatan musik lengkap (termasuk piano yang bagus), perabotan rumah tangganya tak bisa disebut murah. Nilainya tak kurang dari Rp 5 juta. Rumah itu belum 3 bulan ditinggali, baru diisi seminggu setelah Oma kembali dari naik haji. Ia berangkat ke Tanah Suci bersama ibunya, 6 Nopember 1975 yang lalu. Pulangnya merasa tak perlu menambah nama seperti halnya kebiasaan haji-haji yang lain (kecuali titel H di depan namanya). "Soalnya nama saya sudah terlanjur cukup dikenal orang", katanya.

Nyonya Oma, sementara itu sibuk mengerjakan disain dan pelaksanaan pembangunan rumahnya. "Saya tak puas dengan gambar yang diajukan pemborong. Maka saya bikin gambar sendiri, pekerjanya dicarikan oleh kakak Bung Oma", tutur nyonya Oma yang bernama Veronica. Sebegitu jauh, bangunan itu belul juga memuaskan pemiliknya. Bagian atap yang berlantai beton yang selama ini sebagai tempat jemuran, kelak akan disempurnakan menjadi ruangan tingkat dua. Mencari rumah ini tak begitu sulit. Naik becak dari Pasar Tebet atau dari jembatan Kampung Melayu, tak perlu repot menyebut blok atau nomor rumah (yang memang belum ada). Cukup hanya bilang "antarkan ke rumah Oma Irama" -- maka becak akan meluncur langsung ke sebuah rumah mewah dengan marmer abu-abu di kawasan Kebonbaru, di mana kali Caiwung mengalir persis di depannya.

Cincin-Cincin Bagus

Sebagai penyanyi, perawakan Oma memang pop. Agak kekar, tak terlalu jangkung, tak terlalu pendek. Sebelum naik haji dulu rambutnya gondrong sampai agak di bawah bahu. Sekarang rambutnya agak rapihan sedikit meski masih cukup tebal. Cambangnya saja yang masih dipertahankan. Tak ketinggalan dengan mode anak-anak muda sekarang, celananya pun tentu saja cutbrai, sepatu hak tinggi, hem yang berumbai-rumbai di bagian pergelangan tangan dengan dua kancing terbuka bagian atas.

Lehernya berhiaskan kalung, beberapa jari tangannya berlilitkan cincin-cincin bagus. Gelang akar bahar di pergelangan tangan kanan, arloji berantai emas di tangan kiri. Acap tampil begitu (kadang juga di rumah tapi setelah pulang dari Mekah, pernah muncul dengan jubah putih, sorban tersampir di pundak dan tasbih terkalung di leher. Dan dengan beraninya ia nyanyi dengan pakaian "wak haji" begitu di panggung....

Sebagai suami dan ayah (anaknya baru satu, perempuan, bernama Debby Veramasari Irama, 3 tahun) ternyata Oma pun cukup telaten. Sibuk memang, tapi ada saja waktu buat keluarga. Hari-hari libur selalu ia pergunakan untuk rekreasi bersama anak-isteri. Misalnya berenang di Bina Ria, nonton atau hanya jalan-alan menghirup udara segar. Menghadapi suguhan masakan isterinya, ia hampir tak pernah menolak. Biasanya lebih suka daun-daunan segar untuk lalap. Tapi terutama sekali ikan bandeng bakar, apalagi dabu-dabu (sambal Menado). Isterinya memang keturunan Menado campur Belanda, anak sulung dari 9 putera-puteri Adrian Tembuleng dan Flora van Bruijn, keluarga yang juga doyan musik. Adapun Oma, berayah asal Bandung, beribukan asal Banten. Veronica sendiri meski cuma berpendidikan SMP kelas 3 (dan kini 23 tahun) toh sudah pintar main piano, setelah 4 tahun belajar pada Lusy Assaat, anak Mr. Assaat, bekas Pd. Presiden waktu Sukarno-Hatta ditangkap Belanda. Dari isterinya inilah Oma belajar memetik toets-toets instrumen besar itu (dan belajar not balok dari seorang rekan bernama Mansur).

Kisah cinta Oma-Veronica agak menarik. Suatu ketika, 6 tahun lalu, kebetulan mereka main di Lampung. Oma nyanyi untuk band Junior, Veronica nyanyi dan main organ untuk band The Beach Girls pimpinan Annie Kusuma. "Selain di panggung, kami juga ketemu di hotel dan ngobrol-ngobrol. Sebelumnya tak saling kenal", tutur Veronica. Tak sampai setahun kemudian, mereka pun menikah dan Veronica mengikuti agama suaminya, Islam. Tentang ini ayah Veronica, pensiunan PN Nurani Farma itu bercerita: "Keluarga Tembuleng itu sebenarnya 60% Islam, 40% Katolik. Ibu saya, yaitu nenek Veronica, malah pernah berpesan agar anak-anak saya diizinkan menikah dengan siapa saja.

Jangan ditentukan mesti begini-begitu. Soal agama, yang mana pun toh sama baiknya. Dalam hal agama Katolik, kalau warganya mau nikah dengan orang berlainan agama mesti ada dispensasi dari gereja. Untuk Veronica saya tidak memintakan itu". Tapi benar bahwa ketika melamar dulu Oma memang menghadapi sedikit kesulitan. "Bagaimana mungkin, sebab ketika itu Oma sudah beristeri", tambah Adrian Tembuleng yang sebelum 1966 menjadi care taker pimpinan Kimia Farma Maka Oma pun pulang dengan tangan hampa. Belakangan ibu Oma yang maju, katanya: "Bagaimana kalau Oma sudah cerai?" Maka tak lama kemudian Oma-Veronica pun menghadap penghulu.

Veronica yang cantik, bertubuh subur, berkulit putih bersih itu, tampaknya berusaha betul menyesuaikan diri sebagai seorang muslimah. Ia selalu mengenakan rok panjang, seperti yang juga biasa dipakai oleh gadis-gadis PGA atau madrasah. Tapi tentu saja dari bahan yang jauh lebih bagus dan mahal. Sesaat setiap Oma mau pergi atau pulang, ia selalu mencium tangan suaminya. Begitu pula kalau Veronica kebetulan ada acara keluar, berbelanja misalnya. Dan Oma pun mengulurkan tangan kanannya dengan lembut. Kerukunan yang begitu ideal, ternyata tak mampu menimbulkan rasa cemburu pada Veronica manakala suaminya dipuja-puja oleh para fans yang tentunya tidak hanya terdiri dari cowok-cowok sja. "Saya bisa memaklumi peran seorang penggemar yang memuja penyanyi terkenal. Soal cemburu harus diletakkan secara wajar.

Biasa toh, kalau ada fans yang begitu -- asalkan mereka tahu batas saja", ujar Veronica. Tapi biar pun keduanya sama-sama artis, toh tak terlintas sedikit pun impian bahwa kelak anaknya akan menjadi penyanyi pula. "Biarlah saya saja yang jadi tukang ngamen. Tapi anak saya benar-benar jangan sampai jadi penyanyi kata Oma. Meski begitu, ia merasa tak mungkin nyanyi terus sampai tua. "Itu kan hanya impian. Saya sendiri tak tahu, setelah ini mau jadi apa. Soal nanti, itu terserah Tuhan. Toh Tuhan itu maha pengasih", tambahnya.

Pecah Dari Elvy

Peranan Veronica bagi Oma memang cukup penting. Meskipun tidak selamanya bisa mempengaruhi ciptaan Oma, toh Oma sendiri setelah selesai menulis lagu dan syair, tak jarang minta pertimbangan isterinya yang sampai sekarang masih mencintai dunia musik. Sangat sering mencipta lagu sampai larut malam, Veronica selalu melayani atau menyediakan apa saja yang diperlukan suaminya: alat perekam, kaset, buku, makanan, minuman. Semuanya siap dan lengkap di meja. "Dengan begitu ia tak perlu berteriak minta ini-itu, bisa konsentrasi sepenuhnya", tutur Veronica. Kalau sudah mengarang lagu, ia jadi angker di rumah "jangan coba-coba mendekat" kata isterinya. Menurut Oma, sudah 300 biji lagu ciptaannya. Semuanya berjenis dangdut, temanya diangkat dari kehidupan seharl-hari. "Kalau-tadi malam saya mendapat ilham, paginya saya udah di piano. Atau, pagi dapat ilham, malamnya bikin aransemen", lanjut Oma. Sebulan rata-rata bisa mencipta 4 sampai 5 lagu, tapi adakalanya cuma sebiji saja. Yang paling populer adalah Begadang, tentang lagu ini ada cerita sedikit. Suatu hari mertuanya bilang: "Kalau mencipta lagu jangan terlalu memforsir diri. Kalau bergadang terus begitu, nanti kamu sakit". Maka Oma pun lantas menulis lirik: ...Begadang boleh saja Asal ada gunanya; Kalau terlalu banyak begadang ...."Begadang boleh saja, asal ada perlunya. Kalau terlalu banyak begadang, muka pucat karena darah berkurang. Darilah itu sayangi badan, jangan begadang setiap malam....".

Ia memang penyanyi yang cepat sukses. Dan sukses pula mengantongi uang. Oleh salah sebuah perusahaan rekarnan ia pernah dibayar Rp 250 ribu untuk 4 lagu. Dulu pembayarannya berdasarkan sistem royalties (prosentase dari hasil penjualan). Sekarang kontrak, honorarium dihitung per lagu -- dan perusahaan PH yang bersangkutan bisa mencetak sebanyak-banyaknya. Kalau Oma main untuk sebuah show, tarifnya begini: 30% dari hasil kotor untuk pertunjukan yang bersifat komersiil, tapi 50% (dari yang 30% itu) kalau untuk amal. Itu bersih untuk Oma dan rombongan. Transpor dan akomodasi -- tanggungan panitia.

Dalam hal ini Oma mengaku "uang tak mulak perlu bagi kehidupan saya lebih senang menguasai uang dari pada dikuasai uang". Meskipun begitu, toh pada akhirnya timbul juga rame-rame. Dan pangkal persoalannya tak lain tak bukan soal fulus juga. Sementara sekarang lebih intim dengan perusahaan rekaman Yukawi, ia terlibat konflik-kontrak dengan perusahaan sejenis yang lain, yang sebelumnya pernah merekamnya, Remaco. Maka para fans Oma sekarang boleh berdendang: begadang boleh saja, asal ada uangnya.....

Membuntuti Begadang, populer pulalah lagu Rupiah dan Penasaran. Juga lagu-lagu lain yang ia bawakan secara duet bersama Elvy Sukaesih. Tapi juga gara-gara rupiah pula, sekarang keduanya erpisah. Oma kontrak dengan Yukawi, Elvy bergandengan dengan Remaco. "Sebenarnya ketidak-cocokan itu sudah terasa sejak 1974. Tapi mengingat sumpah tetap berduet, saya masih berusaha berbaik-baik", kata Elvy. Ketika Oma meneken kontrak dengan Yukawi tanpa konsultasi dengan pasangannya, maka Elvy pun yang dulu memang penyanyi solo kian merasa perlunya teken kontrak sendiri, langsung tidak melalui Oma. Ini semua terjadi justru pada saat Oma lagi menunaikan ibadah haji. Dan konon memang ada fihak luaran yang sengaja memecah mereka -- seperti halnya perpecanan grup Mercy's -- tentu saja untuk mencari keuntungan komersiil. Sepulang dari Mekah, Oma pun bilang, "sudah tak ada gunanya lagi berduet dengan dia".

Untunglah, sementara Elvy kabarnya ingin membentuk grup Melayu sendiri bersama Muchsin, penyanyi dan rekan lamanya (kabarnya sudah bergabung dengan OM Kelana) tak lama kemudian Haji Dangdut Oma Irama pun mendapat ganti. Pertengahan Januari lalu OM Soneta main untuk sebuah pesta. Kebetulan di sana hadir pula Rita Sugiarto, 17 tahun. Lebih terkenal dengan nama Rita S, bekas pemenang beberapa kali dalam kejuaraan nyanyi di Semarang ini nama aslinya Derta Kismiyarti. Waktu masih duduk di bangku SD malah pernah jadi juara pertama lomba baca Al-Qur'an sekodya Semarang. Di tempat pesta itulah ia nyumbang nyanyi.

Dan sejak itulah ia berkenalan dengan OM Soneta. Hijrah ke Jakarta sejak pertengahan 1975, pertengahan Januari yang lalu ia sudah muncul bersama Oma dalam sebuah show di Istora Senayan. Mengenakan celana panjang warna hijau berkembang,-- sepatu tinggi, baju ketat, bibir merah, goyang pinggulnya tak kalah dengan Elvy. Dan malam itu Oma elah mampu menyelamatkan pertunjukan dari cemoohan publik setelah grup-grup lainnya, termasuk Koes Plus dan penyanyi Melky Goeslaw yang juara Pop Singer Nasional itu gagal.

Belajar Bahasa Arab

Kalau tak ada show, jadwal latihan OM Soneta rata-rata 3 kali seminggu di rumah Oma. Meski jreng-jrengnya terdengar sampai di luar, para tetangga tampaknya maklum. Dan tetangga Oma memang tak begitu banyak. Dulu malah hanya berlatih di studio tempat rekaman. Honorarium dibagi rata dengan para pemain orkes. Tapi begitu selesai rekaman, mereka bubar. Baru ketika karir Oma menanjak, Oma membeli peralatan musik sendiri lalu mengumpulkan kembali rekan-rekannya. Oma sendiri belum puas dengan karirnya sekarang. "Saya ingin Soneta menjadi grup musik teladan", katanya. Maksudnya, jangan sampai ketularan ganja. Dulu memang ada anggotanya yang suka fly, tapi sekarang sedikit demi sedikit sudah ada perubahan. Dalam Soneta ada aturan keras: dilarang menjamah minuman keras, ganja, narkotik, berbuat mesum. Dan harus sembahyang. Seminggu sekali keluarga Soneta menyelenggarakan pengajian di rumah Oma, seorang ustadz dipanggil memberikan ceramah agama. Oma sendiri setelah bertitel haji, secara privat mulai belajar bahasa Arab. Dalam setap penampilan di panggung pun Oma selalu mengawali acaranya dengan: "Di sini Oma Irama bersama Orkes Melayu Soneta. Assalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh....".

Selama ini ia mengaku bermaksud berda'wah lewat lagu-lagunya -- pernyataan yang sebelumnya pernah diucapkan oleh Trimbo. Di lain fihak Oma menyesalkan sebagian orang Islam yang ragu-ragu terhadap musik. Padahal Islam toh tidak melarang, apalagi untuk maksud-maksud da'wah. Guru ngaji Oma sendiri pernah berkata: "Pada suatu hari Nabi Muhammad bertandang ke rumah sahabatnya, Abubakar. Di teras rumah seorang kawan Aisyah, anak Abubakar, asyik bemain musik. Melihat Nabi datan, Abubakar menyuruh anak itu berhenti nyanyi-nyanyi. Tapi apa yang terjadi? 'Biarkan saja musik itu, untuk kegembiraan' kata Nabi". Yang dimaksud dengan da'wah oleh Oma, tidak semata harus berbau agama. Mengajak atau memperingatkan hal-hal yang bersifat baik, sudah termasuk da'wah.

Bahwa lagu-lagu Melayu dianggap sebagai konsumen orang berselera kampungan, Oma tidak menyangkal. "Soalnya pemain orkes Melayu umumnya tidak terpelajar, instrumen mereka tidak sementereng band dan syairnya pun rata-rata cengeng, lunglai, dari itu ke itu saja", katanya. Tapi bersama Oma, lagu 'kampungan' itu kini sudah menembus kawasan 'gedongan', termasuk rumah paman Oma di Kebayoran Baru. "Dulu oom saya anti Melayu. Jangankan membeli kaset atau PHnya, mendengar saja tak mau, biar itu suara kemenakannya sendiri", dan Oma tertawa senang.

Katanya, dulu banyak penyanyi-penyanyi kita menjiplak lagu-lagu India. Kemudian berusaha mengaransirnya, sedapat mungkin berwarna Melayu. Tampaknya yang benar-benar asli (Melayu Deli) cuma lagu-lagu S. Effendy atau koleksi Orkes adio Medan tahun 50-an. "Sekarang orang menjuluki lagu-lagu saya sebagai Melayu dangdut. Saya tak tersinggung, malah senang", kata Oma. "Dan saya kira cukup memenuhi selera. Tentu saja jangan dibandingkan dengan musik klasik. Itu kan jauh panggang dari api".

Tempo Edisi 52/Maret 1976


RHOMA IRAMA
RHOMA Irama, dalam konteks masyarakat Indonesia, mungkin bukanlah sosok seorang penyanyi, melainkan sebuah fenomena sosial-budaya dan politik. Tentu saja, sosok semacam itu tak tumbuh seketika. Di awal 1970-an, ketika remaja, saya menyaksikan duetnya dengan Elvi Sukaesih. Tapi bukan di gedung besar, melainkan di sebuah dusun di Kelurahan Cilandak, Jakarta, yang kini persis di samping Institut Ilmu Pengetahuan (IIP). Oma –demikian ia disebut sebelumnya –kala itu tak lebih dari seorang penyanyi. Tapi kini, seperti yang kita lihat, ia telah menjadi “figur besar” yang melintasi dinding musik. Bahkan mendorong Mbak Tutut dan Bung Harmoko menariknya sebagai calon wakil rakyat dari Golkar.

Apa yang membuat Rhoma menjadi fenomena? Remy Silado, pengamat musik yang hingga kini liat bertahan, memberi penjelasan dengan nada kritis. Rhoma, menurutnya, bukanlah pedangdut asli. Ia hanya seorang musikus yang mencangkokkan aliran musik cadas (rock) ke dalam dangdut, dan dengan itu Rhoma berhasil memantapkan diri sebagai avant garde dunia dangdut. Tampaknya, dengan formulasi ini, Remy ingin mengatakan bahwa Rhoma tak berhak menyandang gelar “kepangeranan” dunia goyang itu karena persoalan orisionalitas aliran musik. Walau Remy mungkin benar-terutama karena Rhoma lebih dulu menggeluti musik pop, sebelum dangdut-saya lebih melihat persoalan psiko-budaya yang memberi landasan kemunculan tokoh ini.

Masalahnya mungkin terletak pada cultural schism (perpecahan budaya) antara penganut musik dangdut dan pop, seperti yang saya rasakan di masa remaja, di pinggiran selatan Jakarta. Konstituen musik pertama, secara budaya, terkategorikan “rendah” dan tak memiliki selera budaya kota. Mereka, pada umumnya, tinggal di desa-desa dengan tingkat pendidikan yang tak terlalu tinggi. Pendukung musik kedua sebaliknya. Berselera tinggi, hidup di kawasan perkotaan, dan di atas semuanya berpendidikan relatif tinggi. Maka, sekali lagi, seperti yang saya saksikan, murid sekolah umum yang telah mencapai pendidikan tingkat menengah ka atas di kawasan Pasar Minggu pada 1970-an cenderung mencemooh dangdut. Dunia pendidikan, dalam konteks ini, adalah alat emansipasi intelektual. Tapi dalam konteks kultural, pendidikan itu sendiri telah menciptakan watershed, yang memisahkan struktur selera budaya lampau dengan kekinian. Di sini walau secara geografis tetap berada di tempat yang sama, seseorang yang telah terdidik diharuskan melakukan migrasi kultural.

Seandainya proses pendidikan dan migrasi kultural ini berlangsung secara masif, mungkin musik dangdut akan kehilangan basis konstituennya. Tapi faktor struktural memberikan hasil yang sebaliknya. Elitisme pembangunan Orde Baru di masa awal tak berhasil mentransformasikan lapisan masyarakat secara sosial –ekonomis dengan sempurna. Bahkan sebaliknya. Konsentrasi derap pembangunan (hanya) di kota besar, terutama Jakarta, telah menciptakan wilayah-wilayah itu menjadi “kantong uang”. Tentu saja, terkepung oleh desa miskin di sekitarnya, penciptaan “kantong-kantong” ini telah menjadi magnet yang menyedot penduduk desa berhamburan ke kota besar. Maka. dalam konteks demografis dan kultural, yang terjadi dari elitisme pembangunan itu adalah arus migrasi fisikal masyarakat desa, bukan migrasi kultural dan intelektual.

Apa konteksnya Rhoma dan musik dangdutnya? Kontinuitas migrasi fisikal itu telah makin memperluas basis konstituen musik dangdut. Walau telah tinggal di wilayah “berbeton” –ketika sawah becek dan berlumpur makin jauh- kaum imigran asal desa ini tak menemukan habitat selera budaya pada musik kota, kecuali dangdut, yang mengundang goyang dan syair-syair sederhananya. Dalam kata lain, hanya dengan dangdut mereka yang tercerabut dari akar-akar desa itu menemukan secara lintas etnik. Dangdut, dengan demikian, telah berfungsi sebagai pengayom kultural dari proses pengasingan fisikal.

Pada struktur semacam inilah Rhoma tegak. Di tengah-tengah konstituen yang makin meluas, dan dalam posisi budaya dangdut sebagai underdog, Rhoma tampil sebagai pembela-apa yang di katakan sendiri dalam sebuah lagunya-musik Melayu, musik yang mengayomi kaum imigran itu. Sebuah lagunya, Begadang, telah melambungkan Rhoma sebagai menjadi raja dangdut. Tapi di atas segala-galanya, lagu itu sendiri merefleksikan gaya hidup kaum imigran desa. Terlempar di perkotaan tanpa tempat tinggal permanen, mereka terpaksa melewati malam tanpa tertidur.

Tak mampu mendanai hiburan untuk diri sendiri, mereka-seperti terlihat pada film Laila Majenun-menemukan tempat artikulasi diri pada goyangan lagu Begadang, tanpa harus membayar.

Maka, Rhoma telah menjadi simbol “perlawanan” kultural bagi rakyat kecil yang tercemooh dan terpinggirkan. Dengan konstituen yang makin luas inilah Rhoma menjadi figur yang pengaruhnya melintasi batas-batas musik. Ini terjadi terutama ketika ia mulai memasukkan unsur-unsur dakwah dalam lagunya transformasi lebih lanjut karya-karyanya. Pada titik ini, ia tak lagi berhadapan dengan massa jelata yang haus pengayoman budaya, melainkan juga bertemu dengan komunitas kaum Muslimin yang jauh lebih besar. Dari sinilah kita memahami Rhoma sebagai fenomena sosial-budaya dan politik. Melalui kreasi seni dengan konstituennya yang begitu tipikal, ia melompat menjadi “tokoh politik”.

Maka tidaklah mengherankan, jika ia ditarik kian kemari oleh partai-partai politik tertentu untuk tujuan-tujuan politis. Keterlibatannya ke dalam Golkar dewasa ini adalah konsekuensi lebih lanjut dari proses perjalanan karier budaya anak Tasikmalaya itu. Tapi dalam posisinya yang “lain” kali ini, kita wajib bertanya. Akankah Rhoma akan kembali mengenang massa kecil imigran desa di kota-kota besar yang telah menjadi basis konstituen bagi “kebesarannya” dewasa ini?
Bersumber:  http://akulahdie.blogspot.com/2010/07/rhoma-irama-si-raja-dangdut.html

Jumat, 01 April 2011

Photo Muchsin&Titik Sandora


Titiek Sandhora - Mimpi Diraju (Muka SME 1038)
Titiek Sandhora - Mimpi Diraju (Muka SME 1038)
Titiek Sandhora  (Muka SME-1006)
Titiek Sandhora (Muka SME-1006)
Titiek Sandhora & Muchsin - Band 4 Nada (Mutiara SME-105)
Titiek Sandhora & Muchsin - Band 4 Nada (Mutiara SME-105)
Titiek Sandhora & Muchsin - Hello Sajang (Mutiara SME-111)
Titiek Sandhora & Muchsin - Hello Sajang (Mutiara SME-111)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Muka SME-1029)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Muka SME-1029)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Universal SHP 2068)
Titiek Sandhora - Djangan Ngintip (Universal SHP 2068)

Titiek Shandhora & Muchsin - Si Boby (Tugu Mas TME 4601)
Titiek Shandhora & Muchsin - Si Boby (Tugu Mas TME 4601)
Titiel Sandhora & Muchsin - Kontes Ratu Ketjantikan (Mutiara MME-104)
Titiel Sandhora & Muchsin - Kontes Ratu Ketjantikan (Mutiara MME-104)
Titiel Sandhora & Muchsin - Tante Girang (FMI FMEP 002)
Titiel Sandhora & Muchsin - Tante Girang (FMI FMEP 002)

Bersumber:
http://www.pbase.com/sid_presley/the_record_collection&page=all